Alter Account: Ketika Kenyataan Tak Sesuai Harapan

Jena adalah primadona di Facebook. Bagi para penggemar dunia detektif, terutama Detective Conan dan Sherlock Holmes yang bergabung dengan komunitas penggemar (fanpage) di Facebook, Jena bukanlah nama yang asing. Sebab, Jena adalah admin di beberapa fanpage detektif terkenal pada tahun 2010-2017.

Jenius, kaya, cantik, dan terkenal. Begitulah citra (image) Jena di semua fanpage yang ia kelola. Ide-idenya selalu membawa angin segar. Kasus-kasus ala detektif yang ia buat sulit untuk dipecahkan.

Ia juga pandai berbahasa Inggris. Setiap menganalisis banyak hal termasuk kasus-kasus detektif buatan, ia selalu bisa mengartikulasikan pandangannya dengan ringkas dan tepat. 

Banyak juga yang memuji mengenai pengetahuan pop culture atau budaya popnya. Ia hapal serta mengerti budaya pop Amerika, Korea, dan Jepang. Ia selalu menunjukkan bahwa dirinya punya akses tak terbatas terhadap banyak hal.

Misalnya seperti akses channel televisi berbayar, konser musisi-musisi papan atas, kuliah di Universitas Indonesia, juga akses buku-buku detektif berbahasa Inggris.

Hanya ada satu hal yang selalu dijaga oleh Jena: wajahnya. Ia tidak pernah memperlihatkan wajah aslinya kepada siapapun. Ia tidak pernah mau diajak bertemu oleh teman Facebook-nya, meskipun mereka sama-sama tinggal di Jakarta.

Ia hanya pernah mengunggah (upload) foto tampak belakangnya saat mempromosikan kaos suatu komunitas detektif. Respons para penggemarnya tentu luar biasa. Jena dipuji tanpa tapi. Tidak ada yang tahu bahwa orang di dalam foto itu sama sekali bukan Jena. 

Singgasana yang dibangun Jena di Facebook seketika runtuh saat seorang teman adminnya yang lain mengungkapkan fakta bahwa Jena adalah penipu. Orang bernama Jena tidak pernah ada di Indonesia. Tidak pernah ada Jena mahasiswi Universitas Indonesia. Jena adalah sosok fiktif. Ternyata, Jena adalah identitas samaran Ata.

Ata sama sekali tidak seperti image seorang Jena. Ia bukanlah orang Jakarta. Ia juga bukan orang kaya. Malah, ia sering meminjam uang kepada teman-teman dekatnya di Facebook tanpa membayar utangnya tersebut. Teman dekatnya yang lain yang kebetulan diterima di Universitas Indonesia, sempat mencari keberadaan Ata di UI.

Hasilnya nihil. Mantan kekasih online-nya pun bilang bahwa Ata telah menipunya. Dalam sehari, Ata menjadi orang paling dibenci di komunitasnya. Betapa tidak, Ata menipu teman-temannya selama hampir 8 tahun.

Fenomena identitas samaran atau fiktif di media sosial bukanlah hal baru. Ini umum dikenal sebagai alter-ego. Alter-ego adalah kondisi di mana seseorang menciptakan karakter lain dalam dirinya secara sadar. Misalnya, Beyoncé yang menciptakan karakter Sasha Fierce dan Yoncé.

Di dunia media sosial, tidak sedikit orang yang juga menciptakan alter-ego dirinya sendiri. Sebutan untuk akun alter-ego di media sosial di antaranya adalah akun alter, akun kedua, akun anonim, dan cyber account.

Faktanya, berdasarkan survei Majalah HAI, 46% remaja Indonesia memiliki lebih dari satu akun media sosial, dengan 68.3% partisipan survei yang mengaku menjadi anonim (tidak mengungkap identitas aslinya).

Alasan mereka membuat akun “alter” antara lain karena mengikuti akun yang tidak pantas diikuti oleh akun utama, merasa privasi lebih terjaga, memuji karya sendiri sambil menyerang karya orang lain, merasa ingin diakui, dan self-esteem rendah.

Ada salah satu kasus alter-ego yang sempat viral di media sosial tahun 2018 silam. Adora, seorang mahasiswi mengaku pernah berpacaran selama 5 tahun dengan penipu identitas di media sosial bernama Hilman. Selama itu pula, Adora belum pernah bertemu kekasihnya secara langsung.

Akan tetapi, suatu ketika, identitas asli Hilman terkuak. Ternyata Hilman bukanlah seorang pria, melainkan seorang perempuan bernama Alina yang merupakan adik tingkat Adora di kampus.

Menurut psikolog Kasandra Putranto dalam laporan Vice Indonesia, alasan seseorang memalsukan identitasnya adalah karena ia merasa kurang diterima. Mereka rela berpura-pura menjadi orang lain agar dapat memenuhi tuntutan sosial yang ada dan diterima secara sosial.

“Pemalsuan identitas, semisal penampilan fisik, masa lalu, data diri, dan lain-lain akan selalu ada selama kondisi seseorang tidak sesuai dengan tuntutan yang ada,” ucap Kasandra.

Hal senada juga disampaikan oleh cyberpsychologist dari Wolverhampton University, Dr. Chris Fullwood. Menurutnya, orang-orang menciptakan identitas palsu untuk memperkecil jarak antara bayangan diri yang ideal dan realita diri sendiri.

Menerima dan berdamai dengan diri sendiri memang bukanlah hal yang mudah. Fenomena alter-ego mencerminkan bahwa ada sebagian orang yang kurang menerima dirinya sendiri secara utuh. Padahal, setiap manusia memiliki keunikannya tersendiri.

Menerima diri merupakan salah satu nilai dari 12 dasar perdamaian PeaceGen. Sebelum nilai-nilai perdamaian yang lain, nilai utama yang perlu kita pahami adalah berdamai dengan diri sendiri.

 

Baca Juga  Implementasi ARKA dan Kurikulum Frosh untuk Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus

Penulis: Utami Nurhassanah

Editor: Zulkifli Fajri Ramadan

Daftar untuk mendapatkan info & promosi menarik!