Waktu itu rumah terbakar jalan penuh batu serta mayat yang berserakan saya tidak tahu apa yang sedang terjadi yang saya tahu itu adalah perang yang akan membunuh saya dan kedua orang tua saya.
Pada saat itu umur saya yang masih 6 tahun hanya bisa menangis dan bertanya-tanya sebenarnya apa yang sedang terjadi. Hingga saya tiba di kampung saya dan tak ingin kembali lagi di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah.
Saya Adam Sudarto dari keluarga petani yang asal kelahiran saya di Sulawesi Selatan, namun orang tua saya sudah lama merantau di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, setelah kelahiran saya dan saya mulai bisa dibawa kemana-mana maka akhirnya saya dibawa ke Poso dan besar disana hingga kejadian perang agama itu terjadi.
Saya baru sadar itu adalah perang antar agama yg terjadi pada tahun 1999 silam, yang baru saya ketahui ketika saya sudah beranjak dewasa. Pada saat saya berusia 6 tahun puncak perang terjadi disitu yang pada saat itu masih ada tolerir untuk perempuan dan anak anak untuk keluar dari wilayah Poso.
Namun laki laki dewasa tidak boleh keluar guna memperjuangkan agamanya termasuk Papa saya. Akhirnya saya dan Mama berpisah dengan Papa di pelabuhan yang akan membawa saya keluar dari Poso.
Sejak tiba di Suawesi Selatan saya banyak mendengar cerita dari Mama saya bahwa kejadian itu adalah perang antara Kristen dan Islam hingga akhirnya saya sangat membenci dan juga takut berkawan dengan Kristen.
Setelah 6 bulan kemudian Papa saya kembali ke hadapaan kami dengan Alhamdulillah selamat dan sehat dari perang itu dan kemudian beliau mengatakan tidak ada lagi yang bisa di selamatkan di Poso termasuk rumah dan kebun yang habis di bakar. Maka bertambah jadilah kebencian saya kepada seorang Kristen waktu itu.
Tak lama dari kejadian tersebut orang tua saya kembali ke Poso untuk memulai hidup kembali dengan menata kembali lahan yang sudah porak poranda namun saya tetap di Sulawesi Selatan untuk bersekolah hingga saya berumur 15 tahun.
Pada saat itu saya sudah menduduki Sekolah Menengah Atas dan memilih ikut dengan orang tua ke Poso untuk melanjutkan sekolah karena kekangenan saya kepada mereka yang jarang balik ke kampung bisa menutupi trauma waktu saya kecil.
Saya memilih teman waktu saya beradaptasi di sekolah baru dan ikut di berbagai organisasi sekolah hingga akhirnya menjadi bagian dari OSIS, berbagai kegiatan saya ikuti untuk menambah pengalaman saya dan pengetahuan saya tentang Poso.
Pada akhirnya saya mengenal 12 Nilai Perdamaian melalui kegiatan yang mewakili OSIS di Tentena, Kab Poso yang di selenggarakan oleh Peace Generation Bali. Pak Andi nama yang saya panggil beliau, saya belajar tentang bangga jadi diri sendiri dan no curiga no prasangka hingga biasa memberi maaf membuat saya sedikit demi sedikit dekat dengan orang Kristen.
Selama kegiatan 3 hari saya mengenal banyak dari agama Kristen, ternyata mereka pun sama pemikiran dengan saya yang takut pada Muslim, hingga membuat saya sadar bahwa tenyata kami hanya terjebak pada ketakutan.
Mulai beranjak dewasa kata teroris, suara tembakan dan bom mengingatkan saya pada kejadian waktu saya masih kecil, yang parahnya teroris itu bergerilia di kawasan pertanian yang jalurnya melewati kebun orang tua saya, sampai suatu ketika Papa saya ditahan polisi kerena dituduh sebagai narahubung komplotan teroris dangan pendananya.
Kebencian saya terhadap polisi yang menuduh tanpa bukti membuat saya tak percaya atas penanganan teroris di Poso. Apakah itu hanya skenario untuk mendapatkan uang kata saya dalam hati untuk polisi itu.
Kejadian itu sangat mebuat saya terpukul dan juga bertanya tanya apakah Papa saya benar seorang teroris, saya pun mencoba menggali informasi sebanyak mungkin, hingga akhirnya saya sampai di Bandung dalam kegiatan Pelatihan Board Game For Peace (BGFP).
Pelatihan ini mengingatkan saya kembali tentang sosok Pak Andi yang mengajarkan saya “12 Nilai Perdamaian” kini di bahas kembali di pelatihan BGFP tersebut hingga pada satu sesi yang pada saat itu di telfon Ali Imron yang namanya tidak asing di kepala saya yang ternyata juga pernah berada di Poso pada waktu perang agama.
Saya diberikan kesempatan bertanya kepada beliau, beliau pun berkata kejadian Poso tahun 1999 itu memang murni perang agama yang di pelopori seorang provokator, namun kejadian teroris Poso yang terjadi belakangan ini sudah bukan bagian dari dia tapi yang di pelopori oleh politik katanya, sontak membuat saya diam dan membuat hati saya lega atas semua informasi yang saya dapatkan cocok dengan ungkapan Ali Imron.
Saya buka kembali 12 Nilai Perdamaian dimana saya merasa cocok untuk saya jadikan sifat dalam diri saya dan membuat saya bisa menerima semua kejadian yang pernah terjadi pada diri saya dan yakin bahwa perang terjadi karena ada kepentingan dan provokasi di dalamnya.
Untuk orang yang di provokasi akan kena ketika orang itu tidak mengenal arti damai, saya yakin 12 nilai perdamaian bisa meng-konter seseorang agar tidak terkena provokasi seperti apa yang saya rasakan pada waktu itu dan sekarang saya merasa hampir tidak bisa berkonflik dengan seseorang saat saya mengamalkan 12 nilai perdamaian.
Cara untuk berkomunikasi dan menanggapi sebuah masalah serta menyelesaikan masalah yang saya dapatkan dari 12 Nilai Perdamaian benar benar merubah hidup saya yang sekarang saya tularkan kepada banyak partner bisnis saya hingga kariawan saya dalam menyelesaikan masalah di tempat kerjanya.
Penulis: Adam, Koordinator PeaceGen Chapter Sulteng
Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]