Aini Nahdlia; Sebuah Perjalanan

Ibarat sebuah taman, Indonesia adalah taman yang di dalamnya terdapat beragam bunga. Ada bunga mawar, melati, dahlia, flamboyan, anggrek, dan lainnya. Ada yang berwarna mencolok, ada yang berwarna pudar.

Ada yang wangi ada juga yang tidak. Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khasnya masing-masing. Setiap budaya, etnis, ras, suku, maupun agama di setiap daerah terdapat perbedaan. 

Seharusnya perbedaan menjadi sebuah keanugrahan. Namun kenyataannya masih ada saja yang mempermasalahkan hingga berujung perdebatan. Miris sekaligus menyedihkan. Lantas, bagaimana kita sebagai anak Indonesia menyikapi hal tersebut? Apakah hanya membiarkan dan mendiamkan saja?

Tentang itu, akan kuceritakan sedikit perjalanan. Cukup panjang, cukup mendebarkan. Ya, saat ini usiaku 19 tahun, seorang mahasiswi dari program studi yang banyak diminati: sastra Indonesia.

Di kehidupanku, aku mencoba memberanikan diri untuk menjalani hari-hari. Walau terkadang ada saja orang yang bertikai di sana-sini, maunya menang sendiri. 

Aku terkadang menepi, terkadang mendekati, terkadang jadi bingung sendiri. Aku banyak melihat keprihatinan di negaraku sendiri. Banyak yang saling menyalahkan dan saling menjatuhkan.

Aku bingung melihat realitas yang ada. Aku berpikir, hal apa yang bisa aku terapkan pada diriku sendiri, yang nantinya dapat ditularkan pada orang lain, tentang sebuah perbedaan, bukan dengan perdebatan. 

Walau aku masih dalam tahap belajar, aku ingin menebarkan perdamaian. Aku ingin belajar dengan media apa saja yang bisa aku gunakan, dan sku mendapatkan jalan melalui sebuah informasi di aplikasi pesan instan yang berisi tentang training perdamaian: “Beasiswa Boardgame for Peace 2017”. 

Saat itu aku bertanya-tanya, apa ini? Aku terdiam. Ini bagus sekali, pikirku. Aku tertarik. Saat itu juga aku segera mendaftar. Di sana ada beberapa tahap seleksi, salah satunya wawancara. Apa aku bisa? Ya, semoga, aku berdoa. Bismillah.

Waktu terus berjalan, hingga pada siang hari gawaiku berdering, dan ada telepon masuk. Benar pikirku, itu merupakan tahap wawancara. saat itu banyak sekali pertanyaan.

Lantas aku memberikan menjawab semua pertanyaan itu sebisaku. Sungguh aku berdebar. Alhamdulillah, usahaku tak sia-sia, aku mendapatkan kesempatan mengikuti training itu: aku diterima.

Aku mengikuti training dengan para pembicara yang menakjubkan. Sebuah pengalaman berharga bagiku. Teman dan pengetahuanku bertambah. Ya, dulu aku mengetahui toleransi, tetapi tidak kudalami. Dulu, terkadang aku merendahkan diriku sendiri, namun saat itu aku mulai percaya diri.

Sungguh, materi selama dua hari satu malam itu sangat menggugah perasaanku. Ternyata, aku ini seorang yang “papa,” bukan apa-apa. Aku masih perlu banyak belajar, masih perlu mengejar untuk menyebarkan perdamaian. 

Banyak cerita menarik dari para pemateri, mulai dari Mas Feby (korban bom Bali) yang sudi memaafkan hingga Pak Ramli (mantan teroris) yang mau memperbaiki diri. Ah, rasanya banyak jika dituliskan.

Tidak cukup hanya semalaman. Ya, pengalaman menyebarkan perdamaian dengan cara yang tidak biasa, dengan media permainan: boardgame.

Setelah mengikuti kegiatan, aku sangat senang namun bimbang. Pertanyaan mulai muncul: “aku harus apa setelah ini?”. Aku bersyukur setelah training ada sesi tantangan untuk menyebarkan perdamaian dengan boardgame. Malam setelah training usai, aku mengumpulkan masa untuk mencoba permainan itu. 

Hanya empat orang yang bisa kukumpulkan. Disela-sela rapat kegiatan kusempatkan memperkenalkan permainan perdamaian. Saat awal memperkenalkan “Galaxy Obscurio” aku harus berulang-ulang menjelaskan. Aku harus sabar, tenang, dan menerima tantangan. 

Kujelaskan hingga mereka faham. Tak hanya sampai itu. Selanjutnya, aku banyak mengajak teman-teman untuk bermain. Ada yang tertarik, namun tak jarang yang tak melirik.

Saat kuajak, ada saja yang menolak. Saat kuajak bermain langsung, ada yang bertahan dan ada yang meninggalkan. Ini sebuah tantangan. Itu berlaku untuk seterusnya, berulang, dan menjadi sebuah siklus.

Beberapa waktu kemudian, aku mulai dilanda rasa bosan. Bosan adalah tantangan bagiku. Aku masih belum bisa konsiten menyebarkan perdamaian. Aku sempat kebingungan untuk melakukan apa lagi. Aku sadar, aku masih perlu menyebarkab perdamaian. 

Saat itu tahun 2018. Mahasiswa baru UNS mulai memasuki kampusnya. Terlintas ada sesuatu yang perlu ditawarkan pada mahasiswa baru itu, mengingat UNS sebagai kampus benteng Pancasila. Aku pikir sepertinya cocok kumasukan permainan yang menyimpan nilai perdamaian. 

Galaxy Obscurio kembali kukenalkan. Alhamdulillah, sekitar 400 mahasiswa baru FIB UNS 2018 sudah “terpapar” nilai perdamaian menggunakan permaian ini. Lebih dari 20 orang kuajarkan untuk menjadi fasilitator permainan.

Bekerja sama dengan Peace Generation Solo. Ya, begitulah ceritaku setelah perjalanan panjang itu. Masih ada yang lain. Namun cukup sampai di sini dulu saja. Aku berharap bisa bercerita kembali.

Penulis: Aini Nahdlia Puspita, Boardgame for Peace Solo 2017

Editor: Zulkifli Fajri Ramadan

Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]

Daftar untuk mendapatkan info & promosi menarik!