Saya pernah menjadi orang yang intoleran, tapi itu dulu sebelum saya sadar bahwa perdamaian itu sangat penting.
Nama saya Masyitha Nur Ramadhani, Sitha mereka menyebutku dalam keseharian ini, dan ini sedikit latar belakang kelam saya. Saya merupakan seorang wanita yang lahir dengan nilai agama sedari dini.
Membuat saya memandang sesuatu yang berbeda merupakan hal yang keliru atau salah. Tak jarang juga saya tidak dapat menerima perbedaan pendapat atau pandangan lain dari orang tentang suatu hal.
Saya cenderung mengkotak-kotakkan pertemanan maupun organisasi tertentu. Tanpa ingin memahami bahwa ternyata Indonesia menanamkan karakter saling menghormati dalam kehidupannya lewat budaya dan agamanya.
Namun ironisnya, konflik yang mengatasnamakan agama mulai timbul di Indonesia, dan meningkat tajam dengan semakin berkembangnya gerakan ekstremis agama di Indonesia.
Dulu saya merasa bahwa untuk mencapai suatu perdamaian bukanlah hal yang mudah, perlu perkembangan dan proses berkelanjutan.
Karena tanpa adanya perdamaian, kesejahteraan masyarakat dalam segala bidang, baik bidang ekonomi maupun pemerintahan tidak mungkin tercapai.
Hal ini dikarenakan tidak adanya sikap toleransi yang memungkinkan keharmonisan dan kerjasama sosial antar masyarakatnya.
Saya pun dahulu merupakan seseorang yang minim akan toleransi, hingga pernah mendiskriminasi golongan yang berbeda dengan saya.
Sampai detik dimana saya mendapatkan beasiswa Board Game for Peace yang membuka mata saya lebih lebar lagi dan belajar berbagai contoh toleransi antar agama, budaya, dan lainnya.
12 Nilai Perdamaian yang Membuat Saya Mulai Memahami Toleransi
Saya memahami bahwa sikap intoleran ini kemudian dapat menciptakan konflik yang sangat hebat, hingga saya mencapai kesimpulan bahwa mencegah konflik tak kalah penting ketimbang menyelesaikannya.
Hal inilah yang saya dapatkan selama saya mengikuti beberapa program Peace Generation. 12 nilai ajaib yang membuat saya mendapatkan insight tidak hanya mengenai toleransi.
- Menerima diri (proud to be me)
- Prasangka (no suspicion no prejudice)
- Perbedaan etnis (different culture but still friends)
- Perbedaan agama (different faiths but not enemies)
- Perbedaan jenis kelamin (male and female both are human)
- Perbedaan status ekonomi (rich but not proud, poor but not embarrassed)
- Perbedaan kelompok atau geng (gentlemen don’t need to be gangsters)
- Keanekaragaman (the beauty of diversity)
- Konflik (conflict can help you grow)
- Menolak kekerasan (use your brain not your brawn)
- Mengakui kesalahan (not too proud to admit mistakes)
- Memberi maaf (don’t be stingy when forgiving others)
Perdamaian tidak mungkin bisa dicapai tanpa adanya sikap toleransi dari semua pihak. Ada banyak contoh toleransi antar agama dan budaya yang dapat kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai perdamaian.
Akan sangat indah dan damai jika umat manusia di dunia ini saling memahami, dan tidak berprasangka buruk.
Hal tersebut akan bisa terjadi bila masyarakat mampu berdamai dengan diri, dan memahami bahwa seluruh individu itu berbeda. Berbeda etnis, berbeda agama, berbeda jenis kelamin berbeda status, berbeda kelompok.
Namun perbedaan-perbedaan itu tidak lantas membuat masyarakat menjadi terkotak-kotak dan membangun tembok yang tinggi.
Justru perbedaan itu harus menjadi jembatan komunikasi buat orang lain untuk mampu mengatasi hambatan perdamaian.
Beberapa jalannya dengan memahami keanekaragaman, menjauhi konflik, menolak kekerasan, mengakui kesalahan, dan mampu memberi maaf. Semua itu adalah jalan menuju perdamaian.
Dari benih-benih yang ditanam, saya yakin suatu saat akan menumbuhkan para pemuda teladan calon pemimpin yang toleran pembawa perdamaian.
Oleh karena itu, budaya saling mengerti dan menghormati dalam toleransi yang mulai redup harus kita hidupkan kembali. Salah satu contoh toleransi antar agama yang dapat kita lakukan adalah menghormati kepercayaan orang yang lain.
Jangan ada diskriminasi antar agama dan etnis karena akan berujung konflik atau tragedi terulang kembali di negri pertiwi. Semua hal itu pun bisa terjadi jika dimulai dari diri saya sendiri.
Penulis : Masyitha Nur Ramadhani (AoP Makassar)
Editor:
Mela Rusnika (Media Officer PeaceGen)
Siti Maratun Nuraeni (AoP Chapter Purwokerto)
Hidayah Tria Ananda (AoP Chapter Makassar)