Asti Linda Sari; BGFP 2.0 adalah Titik Balik Hidup Saya

Asti, begitu orang-orang memanggil saya, salah satu Agent of Peace dari kota Makassar. Saya lahir dan besar di lingkungan yang ramai diceritakan penuh dengan konfik dan kekerasan. Kalian mungkin akan terkejut ketika datang ke kediaman saya dan menemukan banyak sekali anak, yang bahkan belum genap 5 tahun, dengan santai mengucapkan kata-kata kasar.

Mereka bahkan saling beradu mulut dengan kawan sebayanya menggunakan kata-kata yang yang sangat kasar yang mampu memekik telinga kita. Ejekan hingga berujung tindak kekerasan adalah pemandangan lumrah yang saya temui sejak kecil. Belum lagi, Saya seorang bertubuh lumayan besar sehingga teman sepermainan saya tidak jarang mengeluarkan kalimat ejekan seperti ”dasar gemuk” yang sudah terlalu akrab ditelinga saya.

Karena itu, saya pernah mengalami masa dimana saya kemudian menarik diri dari lingkungan, tidak percaya diri, bahkan enggan bersosialiasi dengan baik. Aksi bullying itu sempat meninggalkan trauma bagi saya. Terlebih Lontaran kalimat kasar seperti sudah menjadi kebiasaan di lingkungan saya. Tak jarang kekerasan fisik kerap berangkat dari sana. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, beberapa kali saya menyaksikan langsung bagaimana antar warga melakukan aksi kekerasan tanpa pandang bulu.

Tidak berhenti di sana. Menapakkan kaki di bangku SMP menyeret saya pada peristiwa yang lagi-lagi membuat saya terlalu akrab dengan dunia berbau kekerasan. Kejadian pilu itu berawal saat saya terjerumus di sebuah kelompok keagamaan yang mencita-citakan berdirinya kekhalifahan Islam. Saya mulai mengenal kelompok itu di bangku kelas 2 SMP.

Saya ingat, seorang dari kelompok tersebut datang dan memperkenalkan diri sebagai orang yang ingin mengajak membentuk sebuah kelompok kajian. Saat itu, saya sangat tertarik, sebab kajian tersebut mengatasnamakan kajian agama. Saya yang merasa perlu banyak belajar agama dengan mudahnya ikut bergabung. Selama kajian itu berlangsung saya merasa tidak ada kejanggalan. Segalanya terlihat normal layaknya lapak belajar ilmu yang menarik.

Sampai saya dibuat terkejut dalam sebuah seminar. Saya dipertontonkan sebuah video tentang bagaimana cara berjihad yang sesungguhnya. Di sana saya baru pertama kali melihat bentuk jihad seperti perang, aksi kekerasan dan sebagainya. Meski sempat terkejut, akhirnya saya menerima hal tersebut dan menanamkan bahwa jihad memang begitu adanya.

Rentetan peristiwa kekerasan yang sejak dini saya lalui membayangi saya terus-menerus hingga saya remaja. Mirisnya, karena hal itu saya pernah menganggap bahwa bully dan kekerasan kecil seperti kekerasan lisan adalah hal yang biasa. Bahkan, mungkin pemikiran tentang Jihad “cara seperti itu” begitu dalam menggerogoti pikiran saya sampai saya menemukan titik balik kehidupan di awal bulan Oktober 2018.

Tibalah saya pada saat Pihak Boardgame for Peace 2.0 Kota Makassar memilih saya untuk ikut bergabung mengenal nilai-nilai perdamaian. Awalnya, keikutsertaan saya hanya karena penasaran tentang nilai perdamaian. Tibalah hari training perdamaian itu. Training itu merubah banyak hal dalam mindset saya, terutama tentang kekerasan dan radikalisme. Dari seorang yang kerap bergabung dalam aksi bullying secara lisan, kini menjadi yang paling sering tersadarkan.

Saya merasa memiliki tameng dan alarm dalam diri, “Ingat harus toleran,” “jangan diskriminasi.” kata-kata itu seolah sudah diatur secara alamiah, dan muncul ketika melihat aksi bullying terjadi di sekitar saya. Bukan hanya itu, dari saya yang dulu memahami bahwa jihad itu harus mengorbankan apa saja untuk jalan Allah, sekarang saya beranggapan bahwa jihad adalah melakukan kebaikan kepada siapa pun.

Satu hal yang juga paling berpengaruh di hidup saya adalah bagaimana menghargai perbedaan. Dulu, karena pemahaman dari kajian, saya pernah anti terhadap agama lain. Menjadi seorang yang mendiskriminasi rekan yang berbeda keyakinan. Tapi berkat training nilai-nilai perdamaian itu, hingga saat ini saya berkenalan dan berkawan akrab dari teman berbagai suku, ras hingga agama. Kini saya meyakini bahwa “perbedaan bukan alasan untuk tidak bersama”.

Sampai hari ini saya bangga bisa memacu diri saya untuk tidak berhenti belajar, dan mengenal arti perdamaian yang sesungguhnya. Saya terus memotivasi diri saya sendiri untuk tidak bosan menyelami berbagai macam perbedaan yang kemudian semakin mendewasakan diri. Di berbagai kegiatan yang mengangkat isu perdamaian, beberapa kali saya ikut terlibat.

Saya kagum saat ikut kegiatan Millenials Peace Festival, di mana salah satu item kegiatannya adalah kunjungan rumah ibadah. Ketika berkunjung ke salah satu tempat ibadah umat Buddha, “Vihara Giriniga” saya dibuat takjub dengan budaya toleransi orang-orang di sana. Saya disambut dengan begitu hangat tanpa memandang latar belakang saya yang berbeda.

Tidak ada sekat diantara kami. Mereka memperkenalkan tentang apa saja yang mereka lakukan di Vihara tersebut. Mereka juga mengatakan akan selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin berkunjung. Hari itu saya kembali belajar bahwa kita tidak harus selalu sejalan untuk bisa saling bergandengan.

Menurut saya, perdamaian sedikit memakan waktu untuk bisa diterima oleh berbagai macam kalangan. Bersama dengan rekan-rekan agen perdamaian lainnya, beberapa kali kami melakukan aksi “Peace Campaign.” Tentunya tidak lupa dengan membawa serta boardgame yang kami miliki. Satu di antaranya adalah saat kegiatan “We The Youth” di salah satu Mall di Kota Makassar. Kegiatan tersebut dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda.

Kami sangat antusias mengajak beberapa pengunjung untuk ikut bermain boardgame. Awalnya, beberapa kali kami menerima penolakan, namun kami tetap berusaha mengajak mereka bermain. Saat permainan dimulai, mereka terlihat ceria. Ada yang merasa jengkel, hingga ada yang merasa gemas sendiri dengan kawan bermainnnya.

Di akhir permainan kami memberi sedikit penjelasan tentang pesan-pesan perdamaian yang ingin dicapai saat bermain boardgame. Tentang bagaimana untuk tidak saling egois agar bisa menang. Tidak berusaha saling menjatuhkan dengan cara-cara yang tidak baik. Mereka mulai paham tentang pentingnya saling menghargai dan tidak mendiskriminasi. Dari sana kami ingin menanamkan bahwa perbuatan intoleransi dan diskriminasi adalah akar dari kekerasan.

Aksi campaign kembali berlanjut di kesempatan lain. Saat itu masih dalam rangkaian “Millenials Peace Festival.” Saya dan beberapa kawan yang lain kembali ditantang untuk menyebarkan pesan-pesan damai ke lebih banyak orang. Aksi tersebut dilakukan disalah satu monumen di kota Makassar, yaitu “Monumen Mandala.” Bertepatan dengan hari itu juga sedang berlangsung Car Free Day, sehingga memudahkan kami untuk berinteraksi dengan banyak orang.

Tak ketinggalan, kami membawa sebuah spanduk untuk ditandatangani oleh orang-orang sebagai bentuk deklarasi mendukung terciptanya perdamaian di kota Makassar. Sambil kami membagikan beberapa stiker yang telah didesain berisi pesan-pesan damai agar perjuangan ini tidak berhenti di kami.

Itulah sedikit kisah saya yang menginginkan agar pesan damai terus menyebar ke lebih banyak orang lagi. Saya berharap tidak ada lagi orang yang merasa sendiri di atas perbedaan. Tidak akan ada lagi yang merasa diperlakukan berbeda. Juga tidak ada lagi yang beranggapan bahwa karena perbedaan kita sulit untuk bersama. Kita satu, kita INDONESIA dan kita bersaudara.

 

Penulis: Asti Linda Sari, Peserta BGFP 2.0 di Makassar

Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]

Daftar untuk mendapatkan info & promosi menarik!