Atus; Mari berdamai satu dan yang lain

Kuliah di jurusan Agama dan nantinya akan menjadi sarjana agama bukanlah mimpi yang aku inginkan, bahkan tidak ada sama sekali di daftar pencapaian yang sering aku buat. Keinginan besarku untuk kuliahlah yang justru membuat aku tetap bertahan dan terpaksa memilih untuk tetap masuk ke jurusan ini hingga akhirnya aku mendapatkan beasiswa dan memaksaku untuk harus menyelesaikannya hingga akhir nanti. Dahulu, bayanganku kuliah itu menyenangkan, mempunyai banyak teman, dan bisa mengekspresikan diri, namun ternyata tidak seindah itu. Disana aku menjumpai orang-orang yang memiliki karakter yang beraneka ragam. Ada beberapa yang baik namun banyak juga yang tidak. Semenjak itu aku merasa aku sudah terjebak ke dalam lingkungan yang di dalamnya terdapat orang-orang yang justru tidak menerimaku apa adanya yang kemudian terpaksa aku sebut sebagai teman. Awalnya memang berjalan baik-baik saja, aku bebas mengekspresikan diri di ruangan itu, namun lama kelamaan aku merasa dibatasi oleh mereka. Banyak kejadian yang menurutku sudah keterlaluan. Menurutku setiap orang berhak untuk dihargai dan mendapat apresiasi ketika mempresentasikan apa yang sudah ia kerjakan, bukan malah ditertawakan atau diejek dan dicela, juga sampai masalah fisik. Di kampusku masalah fisik menjadi sangat sensitif, dimana yang cantik dan ganteng lebih dihargai dan diperlakukan lebih baik dan dianggap teman dibandingkan dengan yang biasa saja. Seringkali aku yang memiliki postur tubuh gemuk dan pendek merasa tidak adil atas perlakuan mereka. Pernah aku mencoba bertanya kepada mereka, “Kenapa kalian seperti itu? apa salahku?” mereka hanya tertawa dan dengan enteng bahwa itu hanya bercanda dan menganggapku baper (bawa perasaan). Bagiku jika itu dilakukan satu atau dua kali saja mungkin saja aku masih bisa mengatakan itu bercanda, tapi nyatanya ini sering terjadi dan terulang kembali. Hingga akhirnya karena sering terjadi secara tidak sadar aku justru menanamkan sugesti buruk di dalam diriku sendiri. Aku sering menganggap diriku jelek, tidak cantik, dan tidak bisa apa-apa, hingga semakin lama aku sadar sugesti ini yang selalu menjadi hambatan untuk aku melangkah maju. Hal ini aku sadari ketika tidak sengaja mengikuti workshop yang diisi oleh kang Irfan Amalee salah satu Co-Founder dari Peace Generation. Dari situ kemudian aku mulai tertarik dengan Peace Generation (PeaceGen). Dan selang beberapa lama ternyata diketahui ternyata pihak kampus menjalin kerja sama dan akan mengirimkan beberapa mahasiswanya untuk belajar disana untuk satu bulan. Awalnya aku sempat ragu dan memutuskan mundur saja, aku merasa tidak mampu, hingga akhirnya setelah banyak yang dipertimbangkan dan memutuskan untuk berangkat kesana. Bayangan buruk sudah pasti bersemayam di dalam pikiranku, ketakutanku untuk menghadapi orang baru, dan ketakutanku untuk berbicara di depan mereka selalu membayangiku sepanjang perjalanan. 

Moment itu tiba, masih teringat jelas situasi di tanggal 6, dimana aku memperkenalkan diriku di depan orang baru dengan bibir agak gemetar dan takut untuk menatap wajah mereka. Jujur saja, awalnya aku kaget ketika melihat antusias mereka mendengarkan sesi aku memperkenalkan diri, mereka merespon dengan senyum ikhlas dan mendengarkan. Tidak ada satu kata celaan di antara mereka yang aku dengar. Dari situ aku mulai yakin bahwa aku tidak salah memilih PeaceGen sebagai tempat belajar sekaligus magang singkat. Disini kita diajarkan mengenai 12 nilai perdamaian, dan salah satu yang paling mengena untuk diriku yakni nilai pertama “Berdamai dengan diri sendiri”. Di point itu aku diajarkan untuk selalu mensyukuri apa yang sudah Tuhan berikan, yang kemudian menyadarkanku betapa beruntungnya aku diciptakan ke dunia ini. Dari situ kepercayaan diriku seperti terlahir kembali. Ketakutanku menghadapi sesuatu semakin hari semakin terkikis, dan mulai belajar menerima kelebihan dan kekurangan diriku secara penuh. 

Aku berharap, setelah selesai dari sini dan kembali ke tempat asal aku akan menghabiskan semesterku dengan lebih percaya diri, menghargai diri, untuk bisa berdamai dengan diriku sendiri. Aku juga ingin menularkan lewat pengalamanku kepada teman-teman disana yang senasib denganku, agar saling menguatkan dan berubah bersama-sama. 

“Jangan Pernah Mimpi Mendamaikan Dunia Sebelum Kamu Berdamai dengan Dirimu Sendiri”

Sesi perpisahan dengan PPL di kantor PeaceGeneration

Penulis: Mar’atus Sholikhah (Mahasiswa Jurusan Studi Agama-Agama, IAIN Purwokerto)
Editor: Hayati

Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]

 

Daftar untuk mendapatkan info & promosi menarik!