Ayu Kusuma: Jadi Mentor?

Pengalaman berkesanku ketika menjadi mentor kuawali ketika aku mengikuti kegiatan training bersama mentor-mentor yang lain, baik yang berasal dari kampusku, maupun yang berasal dari luar kampusku. 

Bagiku mendapatkan teman baru dari berbagai latar belakang jurusan, itu sangat menarik. Apalagi saat itu, aku merasakan sendiri mengobrol dan berbagi cerita dengan mentor yang berbeda agama denganku.

Tidak berhenti sampai di situ, aku juga sempat diwawancarai mengenai bagaimana pengalamanku melihat perbedaan dan sharing tentang apa itu keadaan damai. 

Sebagai pemeluk agama minoritas, aku merasa senang dapat membagikan pandanganku kepada orang lain. Tak hanya berbagi, namun aku juga berkesempatan menerima dan mendengar langsung sharing-sharing dari teman-temanku sebagai pemeluk agama mayoritas. 

Awalnya dengan pengalamanku yang selama ini terbiasa hidup di lingkungan heterogen, kemudian ditambah pengalaman-pengalaman tersebut, aku merasa percaya diri untuk menjadi mentor untuk mentee-menteeku.

Namun ternyata ditengah perjalananku mentoring dan menyesuaikan diri dengan 15 menteeku, kepercayaan diriku tersebut sedikit menurun. 

Aku sedikit merasa takut. Bagaimana jika seandainya aku tidak bisa membuat mentee-menteeku merasa nyaman karena aku harus menunjukkan bahwa agamaku berbeda dengan mereka? Atau di suatu mentoring, aku tidak bisa menjawab apa yang mereka tanyakan, bahkan menanggapi isu-isu yang berkaitan dengan agama mereka?

Ketakutanku ini sepertinya terjadi karena aku belum terbiasa untuk membuka identitasku ketika menyampaikan materi. Aku berpikir, jika orang lain mengetahui agamaku, apalagi karena keyakinanku ini minoritas, dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada orang lain.

Namun syukurlah, seiring berjalannya waktu hingga menjelang pertemuan terakhir, ketakutanku itu hanyalah perasaanku saja dan alasan ketakutanku itu hanya pikiranku belaka. Justru yang aku dapatkan adalah dinamika di dalam kelompok-kelompok menteeku yang dapat saling terbuka, mengenal dan menghargai satu sama lain. 

Sampai akhirnya sejauh ini, aku bersama mentee-menteeku menjadi semakin kompak untuk bersemangat menjalani mentoring hingga selesai.

Hal ini juga dapat kulihat dalam perkembangan mentee-menteeku yang semakin terbuka satu sama lain dalam menyampaikan pandangannya dan aktif untuk menanggapi satu sama lain dengan saling menghargai, termasuk membuatku merasa nyaman bersama mereka.

Kenyataan ini tentu membuatku semakin merasakan banyak sekali pengalaman yang kudapatkan selama menjadi mentor Frosh.

Bukan hanya belajar bersama mentee tentang materi-materi logical fallacy, tetapi juga ditantang bagaimana menjadi figur nyata yang memiliki karakter kedamaian yang bisa dirasakan dan dibagikan pada orang lain. 

Ternyata kedamaian itu bukan sekadar bisa menghargai perbedaan agama satu sama lain, tetapi lebih jauh dari itu, kedamaian merupakan keadaan ketika satu sama lain dapat saling membantu untuk mencapai tujuan bersama, tanpa membuat identitas masing-masing individu merasa tidak nyaman atau terancam. 

Oleh: Ayu Kusuma, MENTOR FROSH UPI

Editor: Faza

Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]

Daftar untuk mendapatkan info & promosi menarik!