Berlatih Melawan Insecurity dan Berdamai dengan Diri Sendiri di Program Breaking Down the Wall

Berdamai dengan diri sendiri
Ilustrasi by: cupoftiw_
Baru saja aku mencari kata perdamaian, dan muncullah penjelasannya yang lengkap saat aku mengikuti kegiatan Breaking Down the Wall (BDW).

Dikutip dari kompas.com perdamaian adalah suatu kondisi dimana masyarakat bisa hidup secara berdampingan, meskipun masyarakat tersebut mempunyai perbedaan.

Tapi menurutku, arti sebuah perdamaian adalah dapat berdamai dengan menerima keadaan. Menerima keadaan dengan ringan hati tanpa ada rasa terbebani.

Aku tidak tahu apakah ini akan menjadi sebuah karangan narasi atau lebih pada karangan curhat. Yang jelas, cerita ini berkisah tentang perjalananku dalam berdamai dengan diri sendiri. Sebelum kalian membaca tulisan ku ini, aku ingin kalian berjanji untuk tidak membocorkan cerita ini kepada orang lain. 

Seperti yang terlihat, aku dikenal teman-teman sebagai sosok yang ceria, cerewet, bahkan tidak punya malu. Tapi jujur saja aku masih normal dan punya rasa malu. Mungkin akan mengejutkan jika aku dulu adalah anak pendiam dan sangat pemalu.

Delapan tahun lalu, aku bukanlah Ina yang kalian kenal, bukanlah Ina yang kata kalian bisa berdamai dengan diri sendiri dan tidak punya malu.

Aku yang dulu adalah anak yang penyendiri dan tidak punya teman satupun. Atau bahasa gaulnya “nolep” yang berarti no life (tidak memiliki kehidupan).

Aku tidak tahu kenapa dulu tidak ada yang mau mengajak aku bermain dan akupun tidak punya nyali untuk mengajak bermain. Mungkin memang karena aku anaknya aneh dan sulit untuk diajak bercanda. 

Masa-masa SD, selama tiga tahun pertama aku lalui tanpa ada teman yang tulus bersamaku. Beberapa dari mereka datang hanya saat butuh bantuan atau contekan. Hal itu membuatku sedikit kesal dan marah.

Sampai pada tahun ke 4 di SD, aku bertemu dengan Icha yang akhirnya menjadi sahabatku. Aku tidak ingat betul awal kami bertemu dan bagaimana prosesnya.

Tapi setelah aku dan Icha bersahabat kemudian ada beberapa teman lain yang gabung bersama kami.

Nafas lega aku rasakan setelah menyadari 3 tahun sebelum kelulusan aku sudah mempunyai 4 orang sahabat.

Dari persahabatan kami, aku sedikit demi sedikit mulai berubah menjadi orang yang lebih terbuka dan tidak “nolep” lagi. Mereka membawa perubahan positif untukku terutama perubahan sifat individualis yang aku punya.

Aku Mulai Bisa Bersosialisasi

Kemudian, aku menempuh jenjang selanjutnya di SMP yang kupilih sebagai tempat baru untuk menimba ilmu, yaitu SMP Regina Surakarta.

Tiga tahun di sekolah ini sangat berbeda dengan 3 tahun pertama saat di sekolah SD ku dulu. Aku menemukan hal baru dari teman-teman baru.

Yang dulunya saat di SD aku hanya menemukan teman-teman dari daerahku saja. Kini di SMP aku lebih mengenal banyak teman yang berbeda daerah, suku, dan agama.

Aku bisa belajar dari mereka dan menemukan hal unik yang belum pernah aku temukan sebelumnya. Disini aku juga lebih mengetahui bahwa di dunia bukan hanya tentang aku saja, tetapi ternyata lebih luas dari itu.

Di SMP ini, aku tidak menemukan murid yang diperlakukan seperti di SD ku dulu. Teman-teman disini sangat menjunjung toleransi dan bisa dibilang solid. Tidak ada yang direndahkan atau ditinggikan karena daerah asalnya, mereka berteman tanpa memandang suku, agama, ras dan bersosialisasi.

Di SMP, aku juga lebih mudah mendapat teman dan bersosialisasi. Aku mendapatkan 3 orang sahabat yang mendukung dan selalu ada bersamaku. Ketiga sahabatku ini membawa pengaruh yang baik untukku. Contohnya saja nilai ku meningkat saat berteman dengan mereka. 

Kemudian, aku juga menyadari bahwa aku punya kemampuan bersosialisasi tinggi dan aku juga sadar bahwa aku punya bakat public speaking. Dan terakhir, aku merasa sangat bahagia karena mendapatkan pertemanan yang sehat dan bukan lagi pertemanan yang toxic.

Tapi kini setelah aku mengenal sosial media, aku mulai kurang berdamai dengan diri sendiri. Aku selalu merasa ada yang kurang dalam diriku dan selalu membandingkannya dengan orang lain.

Bahkan aku sempat berlarut dalam kesedihan dan membenci diriku sendiri. Dan aku berpikir ini adalah hal wajar yang dialami oleh seluruh remaja, yaitu insecurity.

Insecurity membuatku ingin menjadi orang lain seperti menjadi idolaku dengan melakukan berbagai macam cara agar terlihat seperti idolaku. Tetapi tetap saja hasilnya tidak dapat sama persis dengan idolaku itu.

Dari situ aku mulai mengetahui bahwa aku berbeda, aku adalah aku dan mereka adalah mereka. Aku tidak bisa membandingkan diriku dengan orang lain. Karena inilah aku yang sesungguhnya, diciptakan oleh Tuhan dengan sedemikian rupa.

Mencintai diri sendiri dan menyadari  bahwa setiap orang berbeda, mempunyai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.

Aku sekarang paham bahwa apa yang aku miliki mungkin adalah kekurangan bagi orang lain, begitu juga sebaliknya. Orang yang berkulit coklat ingin mempunyai kulit putih. 

Orang berkulit putih ingin mempunyai kulit kecoklatan. Orang berambut keriting ingin mempunyai rambut lurus. Dan orang berambut lurus ingin mempunyai rambut keriting.

Mereka yang yang ingin merubah kekurangan adalah mereka yang kurang mencintai diri sendiri. Terkadang kita ingin merubah apapun yang ada dalam diri diluar kendali kita. Tanpa menyadari bahwa yang bisa kita kendalikan hanyalah cara kita menghadapinya bukan merubahnya.

Untuk dapat menerima dan menghargai orang lain kita perlu menerima dan berdamai dengan diri kita sendiri.

Self love sangat diperlukan didalam kehidupan karena jika ingin mencintai orang lain kita harus mencintai diri sendiri terlebih dahulu.

Didalam dunia yang luas ini kita akan menjumpai berbagai macam tipe orang dengan segala keunikannya masing-masing. Perbedaan ini tidak dapat dihindari karena menciptakan perbedaan adalah cara Tuhan agar saling melengkapi.

Perbedaan-perbedaan tersebut juga bisa memicu konflik jika tidak dilandasi dengan sikap saling toleransi dan saling menghargai.

Dan cara terbaik dalam mengatasi konflik adalah dengan berdamai, membicarakannya secara kekeluargaan sehingga tidak ada kekerasan dan saling memaafkan. Sungguh indah rasanya jika kita hidup dalam kedamain tanpa pertikaian.

Penulis:
Anunciate Vianey Axelina Yoagnestin (Agent of Peace Solo – SMP Regina Pacis)

Editor:
Mela Rusnika (Media Officer PeaceGen)
Siti Maratun Nuraeni (AoP Chapter Purwokerto)
Hidayah Tria Ananda (AoP Chapter Makassar)

Daftar untuk mendapatkan info & promosi menarik!