Denti Rizki: The Color of Identity

Dulu, saya sangat mudah sekali mencela orang lain yang berbeda. Saya tidak sadar bahwa setiap orang memiliki prioritas identitas yang berbeda-beda.

Kisah saya ini merupakan kisah nyata dan lumrah terjadi di universitas – bahkan di lingkungan tempat tinggal saya. Ketika terdapat orang yang menomorsatukan agama, dicela karena katanya, “ah akhirat mulu yang dipikirin! seimbang dong sama dunia”.

Begitupun ketika ada orang lain yang mementingkan belajar ujian dibandingkan nonton bareng dengan gengnya, ia pun dicela karena katanya, “si X mah ujian terus yang diutamain, temannya malah ditelantarkan.”.

Banyak remaja mudah sekali mencela orang lain, salah satunya adalah karena perbedaan prioritas identitas yang saya alami. Tahukah kamu apa itu identitas? Segala sesuatu yang khas dari lahir ataupun disematkan kepadamu itulah yang disebut dengan identitas.

Ketika seseorang meletakkan identitas terpentingnya, segalanya akan dilakukan – uang, waktu, tenaga agar identitas terpentingnya terpenuhi.

Perbedaan prioritas identitas dapat terjadi karena stimulus yang diterima oleh masing-masing orang berbeda-beda.

Bisa melalui lingkungan yang membentuknya, trauma masa lalu, stereotip yang menjamur bebas dalam bermasyarakat, serta rasa ingin diterima dilingkungan.

Kita harus sadar bahwa identitas yang dimiliki setiap orang sangatlah bermacam-macam. Tidak ada identitas yang lebih unggul dari yang lain sehingga jangan sampai kita memandang diri kita lebih hebat dibandingkan orang lain.

Jangan sampai kita merasa tinggi hati akibat suatu identitas sehingga kita mencela dan merendahkan orang lain.

Sebaliknya, tidak ada pula identitas yang dapat diinjak-injak. Jangan sampai kita merasa “kecil” dan diremehkan sehingga kita tidak dapat mengembangkan diri.  

Semenjak mengetahui adanya prioritas identitas yang berbeda-beda pada tiap orang, akhirnya saya sadar bahwa mencela orang lain itu salah besar hanya karena identitas yang orang lain dengan yang “D” anggap penting berbeda. 

Saat ini, saya  selalu mencoba memposisikan diri sebagai orang lain terlebih dahulu jika terdapat perbedaan yang kontras antara kebiasaan orang lain dengan ritunitas  yang saya miliki. 

“Oh, dia tumbuh di lingkungan dengan agama yang dijunjung tinggi, it’s ok jika ia merelakan seluruh waktunya untuk beribadah. Aku harap aku juga dapat meniru ia dalam beribadah..”

Mengomentari kehidupan orang lain itu sangat mudah, yang sulit adalah mencoba mendalami dan berempati pada apa yang sedang ia rasakan.

Oleh: Denti Rizki, MENTOR FROSH ITB

Editor: Faza

Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]

 

Daftar untuk mendapatkan info & promosi menarik!