Febry: Indahnya pahamku tentang “Istimewanya diri ini”

Setiap orang memiliki keistimewaannya masing-masing, baik disadari maupun tidak. Keistimewaan tersebut dapat melahirkan suatu pembeda antara dirinya dengan orang-orang disekitarnya. Terkadang, setiap hal unik atau berbeda dari diri seseorang juga dapat dibuat menjadi istimewa. Saya sendiri merasa istimewa terlahir dari keluarga suku Minangkabau. Hal ini bukan tanpa dasar, karena di Minangkabau, menjadi seorang perempuan saya artikan menjadi istimewa. Minangkabau menganut paham Matrilinealisme. 

Menurut KBBI, matrilineal dapat diartikan sebagai hubungan keturunan melalui garis kerabat wanita. Dalam kehidupan sosial pun perempuan Minangkabau menjadi sosok yang agung dan sangat dihormati. Perempuan bukan hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi menjadi tokoh yang memiliki hak suara, sehingga tidak asing kita mendengar istilah “Bundo Kanduang” yang melambangkan hebatnya seorang perempuan di Minangkabau.

Saya sendiri selalu merasa bangga dengan prinsip tersebut. Menjadi perempuan yang lahir di adat Minangkabau membuat saya merasa hebat dan istimewa. Dari kecil pun saya dilatih oleh ibu dan nenek saya untuk menjadi seorang perempuan yang kuat dan dapat selalu diandalkan. Semua keistimewaan yang saya rasakan dalam diri saya akhirnya mulai mengarahkan saya pada rasa bangga berlebih dan berujung pada karakter saya yang cenderung mengelompokkan orang dan selalu berharap orang lain seperti saya atau melihat keistimewaan saya. 

Saya selalu suka saat orang lain juga berpikir bahwa saya lebih dari pada mereka dan saya tidak suka saat orang lain tidak sesuai atau berbeda dengan apa yang saya miliki atau inginkan. Ketika orang di sekitar saya melakukan hal yang menurut saya tidak penting, saya merasa bahwa ia salah. Ini terus tumbuh dalam diri saya. Saya cenderung bertanya pada diri sendiri “kenapa mereka begitu? Apa bagusnya mereka memilih begitu?” dan mulai merasa bahwa apa yang ada di saya adalah sesuatu yang baik. 

Cara pandang saya seperti demikian semakin kuat karena saya sendiri dilahirkan dalam keadaan keluarga yang sangat homogen. Saya lahir dalam background adat Minangkabau yang tergolong kuat dan dari kecil pun lingkungan pergaulan saya juga tergolong homogen. Saya tidak terlibat interaksi dengan mereka yang berbeda dari saya seperti orang-orang non-muslim atau orang-orang dari suku non-melayu. Ini membuat sudut pandangan saya tentang dunia menjadi lebih sempit.

Namun, semua benar-benar berubah setelah saya memasuki dunia perkuliahan di Kampus Ganesha. Saat saya dihadapkan pada orang-orang yang memiliki background  suku dan agama yang beragam dan berbeda dengan saya. Untuk pertama kalinya, saya merasa bahwa ternyata keragaman dunia ini benar adanya. Akan tetapi, pada fase awal saya menjalani kehidupan saya di lingkungan kampus, saya masih terikat pada prinsip diri yang dibangun dari rasa “saya istimewa” tersebut, sehingga saya memilih teman dalam pergaulan dan mencoba untuk membuat teman-teman di lingkungan saya sesuai dengan apa yang saya inginkan. Sungguh pada masa ini saya merasa bahwa apa yang saya pikirkan dan lakukan  adalah benar mereka sudah semestinya seperti saya. N

Hal ini tidak berlangsung lama untungnya, karena setelah saya bergabung dengan keluarga di Peace Generation dan menjadi seorang Mentor dalam program Frosh Project, banyak hal dalam cara saya berpikir mulai berubah. Ini dimulai saat saya diberi kesempatan bertemu dan berbincang  dengan Ibu Rino, salah satu pihak dari Peace Generation. 

Beliau mengingatkan saya bahwa cara pandang saya mendekati karakter Self-center  dan saya disadarkan bahwa beragam perbedaan di sekitar kita adalah suatu hal yang wajar dan seharusnya disyukuri. Perubahan saya juga berlanjut saat saya mulai belajar banyak hal tentang kesalah berpikir dari quest-quest yang disediakan sebagai materi dalam kegiatan mentoring Frosh project. Saya mulai paham, makna mendalam tentang konsep “Menjadi berbeda bukan berarti salah”. 

Ini membuat saya mulai memandang bahwa setiap orang disekitar saya sudah jelas berbeda dengan saya dan mereka pun istimewa dengan apa yang mereka miliki tersebut. Saya mulai paham bahwa istimewanya disi saya cukuplah menjadi milik saya, dan istimewanya orang-orang disekitar saya juga cukuplah menjadi apa yang mereka miliki, dan saya tidak berhak sedikitpun memaksakan bahwa mereka juga harus seperti saya agar menjadi istimewa.

Satu kalimat yang menjadi prinsip saya saat ini pun ingin  saya bagikan kepada semua orang istimewa di luar sana;

“Pahami dirimu dalam perbedaan yang ada, maka kamu akan tahu bahwa wajar setiap orang berbeda sudut istimewanya”

Oleh: Febry Fadiyah Utama, Mentor Frosh ITB

Editor: Faza

Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]

Daftar untuk mendapatkan info & promosi menarik!