Fiskal Purbawan, ya itulah nama saya. Seorang anak satu-satunya dari bapak buruh rantau dan ibu rumah tangga yang hidup sederhana di kota Pati. Kota kecil di sebelah timur Jawa Tengah. Kalau bicara suku, saya dari suku Jawa. Dengan memiliki wajah yang dengan unsur tionghoa, banyak yang masih belum percaya kalau saya orang Jawa. Saat ini tengah menjadi mahasiswa Jurusan Ilmu Komputer di Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Sebelum sampai ‘Menara Gading’ bernama Unnes itu, perjuangan cukup Panjang. Mulai memilih antara kuliah atau bekerja, hingga mencari informasi tentang target perguruan tinggi. SNMPTN dan ujian mandiri di beberapa kampus kutempuh. Dan tebak, sebagian besar berakhir kegagalan. Hanya terdapat dua pilihan yang saya lolos, di Unnes itu sendiri serta di Universitas Brawijaya Malang. Namun setelah diskusi dengan orang tua, Semarang akhirnya menjadi pelabuhan untuk menimba ilmu.
Mungkin agak mengganjal kan? Melihat saya dengan latar belakang saintek atau ilmiah terjun langsung ke dunia penyebar perdamaian. Tapi hati ternyata sudah kadung cocok dengan giat menyebarkan perdamaian. Bingung sendiri karena alasan melakukan kegiatan itu sendiri pun belum kutemukan. Ya nyaman aja ikut berpartisipasi telah ikut menyebarkan perdamaian.
Di tengah usaha bergiat menyebar perdamaian, postingan seorang kawan kegiatan beasiswa training Boardgame for Peace (BGFP) di Solo masuk di tahun 2017. Kalimat “menyebarkan perdamaian dengan media permainan” membuat saya tertarik. Karena selama ini saya berusaha menebarkan perdamaian dengan membuat konten di media sosial, atau sebatas sosialisasi ke teman-teman secara langsung. Dan setelah mengikuti beasiswa itu, ada rasa yang berbeda. Berbeda dari yang selama ini kulakukan. Namun masih belum dapat kujelaskan apa yang berbeda. Namun rasanya jarak antara Semarang-Solo serasa tidak ada apa-apanya. Dan akhirnya kuputuskan untuk memantau kegiatan selanjutnya dari Peace Generation.
Di tahun 2018, notifikasi undangan fasilitator BGFP 2.0 itu muncul. Yang membuat keinginan saya untuk mencari jawaban dari yang belum terjelaskan tentang perdamaian bersama Peace Generation itu bangkit lagi. Sedikit jawaban akhirnya terbuka setelah saya diumumkan diterima menjadi salah satu fasilitator, dan kemudian ikut pelatihan fasilitator di Bandung. Dengan bertemu dengan kawan baru di berbagai daerah seperti Surabaya, Bandung, Padang hingga Makasar, membuka pemikiran saya untuk semakin menerima berbagai jenis manusia. Terutama di Indonesia yang memiliki ribuan keragaman dengan perbedaan masing-masing.
Perasaan itu semakin terasa kala mulai memfasilitasi peserta BGFP 2.0 dimulai. Semakin banyak problematika yang kutemukan dialami oleh kawan-kawan peserta. Mulai dari perundungan, hingga diskriminasi. Dengan metode ‘DENGAR JANG’ pula, dapat saya pahami permasalahan bisa saya serap dan rasakan. Seolah saya sendiri merasakan apa yang diceritakan. Pasca keempat gelombang BGFP 2.0, jawaban itu semakin terbuka, namun masih belum bisa saya jelaskan. Kumenanti kembali giat lain yang akan diadakan Peace Generation.
Selama penantian, terjadi banyak hal yang kurang menyenangkan. Hingga perasaan seperti tidak berguna, hanya beban bak benalu, hingga keinginan bunuh diri muncul. Ya, nggak salah kok. Keinginan bunuh diri. Sebuah dosa besar dalam semua agama, setahu saya. Berbagai ingatan pernah melakukan berbagai kesalahan, hingga menghabiskan uang hampir 7 juta hanya untuk jadi tertawaan penipu memperkuat keinginan untuk melakukan dosa itu. Termasuk dengan uang beasiswa PPA yang kuperoleh 6 bulan sebelumnya. Semakin menjadi lah keinginan untuk mengakhiri hidup.
Namun beberapa kenangan dan momen yang saya alami termasuk bersama yang Peace Generation memberikanku kembali motivasi untuk melanjutkan hidup. Melakukan refleksi pun sering saya coba untuk mengurangi keinginan itu. Salah satunya dan yang paling utama tentang menerima diri sendiri. Walau masih samar dengan nilai menerima diri sendiri apa yang telah mencegah Fiskal meninggalkan dunia ini. Selang lima bulan kemudian, di akhir tahun 2019 ajakan untuk menjadi fasilitator Breaking Down the Wall (BDW) muncul dari Aini, atau Yusuf dua AoP lain di Solo. Kegiatan ini setahu saya sudah sejak lama dilakukan Peace Generation dan baru kali ini tawaran masuk. Tanpa pikir panjang, saya ambil tawaran itu. Semakin tertantang lah saya untuk terlibat dalam BDW, untuk kembali melanjutkan pencarian jawaban yang masih terbuka sedikit.
Selama pelatihan fasilitator BDW saya merasakan hal yang sangat berbeda dari semua kegiatan dan juga pengalaman yang pernah saya alami. Apalagi sewaktu Kang Huda, trainer saat pelatihan fasilitator itu menekankan untuk menerima apapun dalam diri kita. Termasuk segala kekurangan yang pernah menempel, terima aja. Apalagi, waktu Kang Huda bilang “Rasanya aneh kalau kita sebagai agen perdamaian, belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri” Kata-kata dari Kang Huda ini yang membuat saya merasa kembali menemukan makna hidup.
Pasca pelatihan fasilitator BDW, beberapa kawan saya di Semarang ada bertanya tentang apa yang diperoleh dari pelatihan itu. Namun ada pula yang berharap setelah pelatihan itu setidaknya bisa berperan aktif untuk membantu sedikit tentang perdamaian. Salah satu kawan kemudian merasa bahwa ada perubahan dari seorang Fiskal Purbawan yang sedikit memberi keringanan.
Dan akhirnya kutemukan jawaban dari rasa yang mengganjal selama tiga tahun berproses bersama PeaceGen. Dan jawaban yang selama ini saya cari. Jawaban itu adalah prasangka. Prasangka yang masih tinggi di masyarakat Indonesia masih terhitung tinggi. Saya pribadi pun secara tak langsung mengalami dampak dari prasangka. Sehingga anggapan pelit, dan beberapa sifat lain seolah menempel di tubuh saya.
Dengan BDW ini, saya merasakan bahwa prasangka bisa menjadi tembok yang memisahkan dan bisa menghancurkan, namun bisa kok dirobohkan. Dengan mempertemukan mereka yang masih menabung prasangka, untuk kemudian dirobohkan tembok prasangka itu. Tentu diperlukan waktu lama untuk memecahkan tembok besar ini saya rasa. Namun saya percaya program BDW ini menjadi titik balik saya untuk ikut terlibat merobohkan prasangka.
Termasuk prasangka pada diri sendiri. Merasa diri terlalu rendah hingga tidak berguna juga tidak baik. Merasa diri terlalu tinggi dan merasa hebat sama bahayanya. Perlu self control yang baik, dan juga masukan dari orang lain. Bisa dari kawan, orang tua, hingga mentor atau dosen. InsyaAllah masih banyak orang baik di dunia ini yang mau membantu kok.
Penulis: Fiskal Purbawan (AoP Solo)
Editor: Hayati
Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]