Halo, aku Dwianditya Hanif, seorang mentee Frosh Project ID dari ITB yang saat ini kuliah di jurusan Teknik Informatika angkatan 2019. Hampir setengah tahun yang lalu, aku bersama dengan lebih dari 200 orang mahasiswa tahun pertama di ITB mengikuti program mentoring selama empat bulan dan berproses bersama lewat sesi pembelajaran berpikir kritis yang interaktif. Saya dikelompokkan bersama empat orang mentee lain dari fakultas yang berbeda dan dimentori oleh Ka Iqbal dari Teknik Metalurgi 2017.
Dari dulu saya orang yang ngga enakan kalau udah berkonflik sama temen. Kalau udah konflik, bawaannya sebisa mungkin menghindar dan hal ini bikin hubungan aku dan temanku jadi canggung bahkan cenderung dingin. Pernah suatu ketika waktu aku SD dulu, aku pernah berkonflik sama temen karena persoalan ngga mau ngasih jawaban ujian. Alhasil dia marah banget dan aku menimpalinya dengan sikap yang gak kalah arogan “Marah aja semau kamu!”. Begitu kira-kira hal yang aku bilang. Hubungan kami pun rusak karena satu persoalan yang sepele.
Di Frosh, khususnya lewat materi Castle of Mirror dan The Tunnel aku belajar banyak gimana merespon perbedaan, baik itu identitas maupun pola pikir dan menyelesaikan konflik dengan jalan yang baik. Aku belajar bahwa seharusnya kita mau mengenal identitas diri dan orang lain agar kita bisa sama-sama saling memahami. Ketika ada konflik karena perbedaan, aku juga bisa loh memilih ngga fokus menghindari konflik tersebut sehingga hubungan rusak dan kesempatan kolaborasi sama orang itu ngga hilang gitu aja. Ketika aku refleksikan lagi sama masalah yang ku alami waktu SD dulu, aku juga seharusnya punya pilihan untuk bisa bicara empat mata sama dia, meminta maaf, dan memberi tahu hal yang benar menurut versiku. Aku rasa dengan jalan seperti itu kami akan tetap bisa berteman. Dari kejadian itu dan sampai sekarang, aku perlahan-lahan belajar untuk menghadapi perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain dengan tenang dan rasional.
Sekarang lagi banyak banget ajakan dari orang-orang untuk memboikot produknya Perancis karena pernyataan Presidennya yang dianggap ngga empatik sama umat Islam. Aku melihat kita juga perlu bijak untuk melihat konflik ini dan gimana meresponnya. Jangan sampai kebencian kita salah sasaran. Bisa aja memang ada pihak-pihak di negara kita yang sangat membutuhkan beberapa produk dari Perancis, seperti susu dan air minum. Apa yang disampaikan Presiden Perancis itu juga belum tentu mewakilkan sikap seluruh masyarakat Perancis terhadap kasus penghinaan agama. Sekali lagi, jangan sampai karena perbuatan kita yang nggak tepat malah merugikan pihak yang nggak bersalah.
Di Frosh juga juga aku semakin diyakinkan bahwa banyak jalan menyelesaikan masalah selain lewat kekerasan. Pada beberapa kasus, kekerasan memang menjadi jalan pintas yang kelihatannya bisa menyelesaikan masalah dengan cepat. Makanya, banyak juga organisasi seperti himpunan atau unit masih membudayakan agitasi (kekerasan verbal atau fisik dengan tujuan mendisiplinkan) calon anggotanya. Tetapi aku yakin banyak cara lain untuk menanamkan nilai. Salah satunya di himpunanku. Aku bersyukur ospek jurusan yang aku lalui banyak berfokus pada menyusun rencana hidup dan keprofesian. Namun, memang kekerasan ini banyak terjadi di lingkungan kampusku dan tidak jarang melahirkan arogansi jurusan. Buatku, perlu sikap aktif dari tiap mahasiswa-mahasiswi untuk menolak melakukan doktrin-doktrin kekerasan yang diwariskan.
Frosh memberiku banyak insight baru dan menguatkan keyakinan yang sudah kumiliki sejak dulu untuk selalu menghargai perbedaan dan menolak kekerasan. Mudah-mudahan dengan kita lebh banyak mengenal diri dan orang lain, kita bisa lebih empatik dan bisa berkolaborasi bersama-sama.