Hasna Afifah: Menemukan Isi Gelasku

Jikalau kehidupan ini diibaratkan seperti sebuah gelas, aku menggambarkan gelasku sebagai gelas kaca polos yang kosong, tak berisi. Beberapa orang mungkin mengisi gelasnya dengan susu, air mineral.

Beberapa mungkin isinya pasir, tanah, jarum-jarum yang merepresentasikan betapa gelapnya isi gelas mereka. Namun gelasku hanya seperti ini, kosong. Aku tak pernah mengerti apa artinya. 

Aku bahkan masih bertanya-tanya tentang bagaimana caraku dapat mengisinya? Apa yang akan kujadikan pengisi? Sebenarnya hidup ini apa? Mengapa aku harus diciptakan? Sampai, untuk apa aku ada di sini, di ITB? Aku merasa buta dengan gelasku, dan hidupku.

Hingga pada Sepetember 2019, aku dikenalkan dengan sebuah lembaga yang bergerak di bidang perdamaian, Peace Generation (atau disingkat PeaceGen).

PeaceGen  ini merupakan non-profit organization yang bekerja secara sukarela menjadi agen perdamaian. Kebetulan pada saat itu Peacegen memiliki sebuah program yang ditujukan untuk mahasiswa-mahasiswa baru ITB, FROSH Project.

Aku yang merasa tidak ada kesibukan pada saat itu pun akhirnya mendaftar menjadi seorang mentor, dengan dalih cari penghasilan, pada mulanya. 

Training pertama program ini dilaksanakan pada awal bulan September, di Sheo Hotel Bandung. Lokasi dan hidangan lezat yang disajikan secara cuma-cuma mebuatku berpikir tentang betapa kerennya program ini.

Namun setelah dipertemukan dengan sesi mentoring, aku semakin terkagum-kagum karena ternyata materinya jauh lebih memukau dari segala suguhan lain sebelumnya.

Aplikasi yang digunakan, ilustrasinya, board game, sampai pemilihan diksi yang diberikan pada setiap opening dan closing dari setiap materi pada quest membuatku berpikir, “kok bisa ya aku tergabung pada kegiatan sekeren ini?”

Ternyata kekagumanku tidak berakhir sampai disitu. Hal paling mendasar dari sebuah mentoring, yaitu pertemuanku dengan malaikat-malaikat kecil yang selalu berhasil membuat energiku bertambah di setiap pertumuan kami, merupakan hal paling mengagumkan yang diberikan FROSH untukku.

Khususnya mentee-mentee TPB Cirebon yang dengan keluguannya selalu membuat hatiku tersentuh akan segala hal yang terjadi pada mereka. Tangis dan tawa, pernah kusantap semuanya.

Mulai dari kesenjangan pendidikan yang dapat kurasakan nyata di depan mataku tanpa harus berlayar ke daerah 3T, ah akan aku ceritakan tentang ini lain kali.

Hingga segala hal baik seperti jadi yang paling cepat di ujian lari, ceklis-ceklis yang berhasil mereka tuliskan pada jurnal harian mereka, hingga sesepele menertawakan pasangan suami istri Bobotoh dan Jakmania di Bridge of Country.

Kini di pelosok kampus bagian manapun, tiap aku mendengar seruan mereka, “Kak Hasna” energiku selalu bertambah rasanya. Ah, aku benar-benar sayang mereka.

Mereka mengajarkanku banyak hal, salah satunya, yang paling bermakna – empati. Pelajaran ini kudapat saat aku menyampaikan materi “Castle of Soul”. Mentee-menteeku menceritakan berbagai masalah yang dihadapi mereka atau teman-teman mereka.

Aku belajar dari mendengar mereka. Hingga aku menyadari bahwa ternyata selama ini aku punya juga punya masalah, gelasku tidak kosong.

Aku hanya tak cukup berani untuk menerima kesedihanku, aku mengusirnya pergi, membiarkan diriku hampa tanpa arti dan perasaan. 

Mengendalikanku memang sulit, tapi bukan hal yang tidak mungkin. Jika kamu merasakan kehadiranku, terima aku, jangan kamu tolak aku. Buka pintu hatimu, biarkan aku masuk saja, jika aku diterima, maka aku akan bisa menerima permintaanmu dengan lebih terbuka”.

Manuskrip akhir di castle ini yang membuatku akhirnya berusaha untuk menerima kesedihanku, dan, astaga, setelah ini aku benar-benar sadar ternyata selama ini gelasku terasa kosong karena aku tak cukup punya empati untuk merasakan apa yang sebenarnya ada di dalamnya.

Mentoring-mentoring berikutnya pun aku jalankan dengan sepenuh hati, aku belajar dan mengambil pelajaran, mendengar dan didengar, dan semuanya kulakukan dengan 100%.

Materi-materi FROSH selanjutnya menjadi lebih bermakna di mataku. Aku perlahan mengerti bahwa setiap orang punya masalahnya masing-masing, dan caranya masing-masing untuk menyelesaikannya.

Aku belajar memahami diriku dan diajarkan mentee-menteeku memahami orang lain. Aku juga diajarkan PeaceGen dalam training terakhirnya yang paling bermakna, untuk berani menerima diriku apa adanya.

Ternyata benar kata Christopher McCandless, “happiness is only real when shared.” Ajaibnya, sistem di dimensi FROSH ini berhasil membuatku membaginya, dan merasakannya. 

Tidak ada yang lebih indah dari senyum-senyum sumringah, tangis-tangis yang timbul tanpa adanya rasa bersalah. 

Tidak ada yang lebih berarti dari memahami apa yang semestinya cukup untuk dimengerti, berempati, dan hidup bersama dalam harmoni. Maka biarkan gelasmu terisi dengan arti.

Oleh: Hasna Afifah, MENTOR FROSH ITB

Editor: Faza

Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]

 

Daftar untuk mendapatkan info & promosi menarik!