Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bandung dan menyandang status sebagai mahasiswa baru, saya mempunyai mimpi selayaknya mahasiswa baru biasa “nanti saya ingin aktif di organisasi-organisasi ITB, ingin mempunyai akademik yang bagus, dan teman-teman yang seru”. Saya meyakini bukan hanya saya saja yang berpikir demikian, banyak tentunya. Saat itulah saya terpikir untuk merancang keinginan saya.
Memasuki masa Tahap Paling Bahagia (TPB), saya mengikuti berbagai kaderisasi unit diantaranya adalah unit menari karna sesimpel memang saya suka menari, unit kebudayaan (UKSU) karna saya ingin melestarikan budaya Batak, dan unit keagamaan karna selama kuliah ingin dekat dengan Tuhan juga. Rencana tersebut berjalan dengan baik. Saya mengikuti setiap kegiatan unit dengan baik, bisa dibilang saya menyeimbangi kegiatan di ketiga unit tersebut tanpa ada yang terbengkalai. Masuk ke tingkat 2, saya memasuki dunia jurusan.
Di masa itu saya fokus mengikuti kepanitiaan ring 1 di unit yang saya ikuti. Saya memang sudah merancang dalam pikiran saya bahwa tingkat 1 dan 2 saya akan fokus ke unit, kemudian tingkat 3 dan 4 fokus himpunan dan mengikuti kegiatan lainnya.
Kamu lagi cari bacaan yang inspiratif? Cek artikel dari Denti dengan klik link ini ya!
Memasuki tingkat 3, saya bisa dibilang mulai tidak aktif di unit dengan pikiran waktu itu bahwa sudah terdapat angkatan baru yang memegang unit. Kemudian saya mencari kesibukan, benar-benar haus kesibukan. Tidak ingin terlihat gabut, saya mendaftar semua kegiatan yang bisa saya ikuti yang saya sendiri bahkan terkadang tidak mempunyai bayangan kegiatan tersebut akan seperti apa bentukan kegiatannya. Saya mencoba banyak beasiswa (yang sayangnya tidak ada satupun yang lolos, kebanyak gagalnya di Forum Group Discusson dimana saya sepertinya perlu belajar tentang FGD).
Saya kemudian mendaftar sebagai trainer SMPE/SSDK, motivasi awal yang saya ingin dapatkan adalah saya ingin belajar berbicara di depan orang banyak melalui kegiatan ini. Kalau bisa jujur, saya tidak berbakat berbicara di depan orang banyak, saya menjadi kaku dan canggung ketika berhadapan dengan orang banyak. Kata-kata yang sudah dipikirkan di belakang akan menghilang seketika. Karena saya ingin keluar dari zona nyaman, saya bertekad ingin menjadi trainer.
Saya sangat senang ketika terpilih menjadi trainer, saya belajar banyak hal dari materi SSDK dimana saya sendiri ketika menjadi maba menggangap materi tersebut tidak terlalu penting dan meremehkan, dan saya percaya tidak hanya saya sendiri yang berpikiran demikian. Pada titik itu, saya menyadari sesuatu. Selama ini saya belajar apa dari semua kegiatan yang aku dapat? Apakah saya berdampak baik buat orang di sekitar saya? Apa yang aku dapatkan selama saya aktif disana-sini? Rasanya saya hanya menjalankan formalitas biasa dalam sebuah kegiatan. Saya sebagai mahasiswa tidak merasa berguna buat orang di sekitar saya.
Mahasiswa yang katanya peduli terhadap lingkungannya, ternyata saya tidak rasakan dalam diri saya. Saya hanya menjalankan tugas kepanitiaan dengan ego saya sendiri memikirkan kepentingan diri sendiri agar dikenal orang, agar punya banyak teman, agar tidak dianggap apatis. Saya tersindir.
Singkat ceritanya pada suatu hari, saya mendaftarkan diri sebagai mentor pada sebuah project bernama Frosh Project ID yang dibawahi oleh NGO Peace Generation. Saya mendapatkan informasi ini dari grup SSDK. Saya tertarik untuk mendaftar karena seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, saya ingin belajar berkomunikasi di depan banyak orang dan saya ingin saya berguna, ada hal yang baik yang saya bisa bagikan ke orang lain. Selain itu, baru kali ini saya mengetahui mentoring yang fokusnya adalah perdamaian dan critical thinking. Sepenting apa topik peace dan critical thinking sampai dijadikan sebagai proyek mentoring untuk maba? Itu yang saya pikirkan waktu itu.
Saat ini, setelah 8 bulan bersama Frosh. Saya belajar banyak hal yang tak terduga, melebihi apa yang saya harapkan. Benar, selama ini saya masih kurang peduli dengan lingkungan tempat saya menjalani kegiatan saya sehari-hari, misalnya.
Melalui Frosh, saya belajar mengikuti kegiatan tidak hanya sebagai formalitas ingin mendapatkan pengalaman, tetapi ada hal baik yang saya dapat dan boleh saya bagikan ke orang lain. Melalui frosh, saya menyadari bahwa di luar sana masih banyak perpecahan yang terjadi dan terus terjadi. Disini kita diharapkan mampu sebagai peace maker, dimulai dari hal kecil yang ada di sekitar kita.
Dimulai dengan menghargai perbedaan identitas yang kita hadapi sehari-hari. Bagaimana menghadapi masalah dengan kepala dingin sehingga tidak terjadi konflik baik dengan diri kita sendiri maupun yang melibatkan orang lain. Hal yang paling saya rasakan adalah saya dan orang-orang di sekitar saya masih banyak yang tidak memberi perhatian lebih kepada isu yang berpotensi menimbulkan perpecahan.
Melalui Frosh, saya dilengkapi dengan materi yang sangat berharga, ibaratnya saya adalah sebuah kuncup bunga, kemudian saya disiram, diberi ilmu oleh Frosh dari setiap quest-nya sampai sekarang menjadi bunga yang mekar dan matang, siap untuk menyebarkan serbuk buah kebaikan ke udara lepas, ke orang-orang di luar sana. Sama halnya dengan saya yang akan melepaskan mentee-mentee ke luar sana, menjadi peace maker. Pada mentoring ini saya belajar banyak dari mentee, selama proses mentoring saya merasakan bahwa saya juga mentee dan mereka mentor. Mereka mengajarkan banyak hal kepada saya melalui cerita mereka, saling melengkapi sehingga kedua belah pihak semakin mengerti dan memahami.
Menjadi orang yang semakin memahami kesalahan berpikir yang ada adalah capaian lain saya di Frosh. Saya sangat mengingat materi logical fallacy doing gender karena materi ini sangat saya rasakan dalam kehidupan saya. Di keluarga saya, laki-laki sangat dihormati dan diperlakukan berbeda dengan anak wanita, sebagai contoh adalah tugas perempuan harusnya memasak dan tugas lelaki adalah duduk menunggu makanan terhidang dengan alasan pada hakikatnya lak-laki tidak bertugas di dapur.
Saya selalu berkata ke Ibu saya bahwa seharusnya semua anaknnya diberi perlakuan yang sama namun yang Ibu lakukan hanyalah mengikuti budaya tradisi batak dari dahulu dimana laki-laki sangat ditinggikan. Saya sangat tidak setuju dengan perlakuan tersebut sampai bertekad tidak akan melakukan hal yang sama kepada anak saya nanti. Ternyata benar, dari Frosh saya tau, hal itu salah.
Tidak dapat dipungkiri, begitu banyak hal baru yang saya dapatkan di Frosh. Hal ini membuat saya semakin sadar dengan kesalahan berpikir, saya semakin kritis dalam memnanggapi pendapat dan pikiran orang-orang di sekitar saya. Melalui Frosh, saya bersyukur dipertemukan dengan orang-orang hebat yang peduli dengan perdamaian dunia dan bermimpi akan menjadi salah satu dari mereka, sebagai peace maker. Terima kasih.
Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]
Peace People, untuk mendapatkan informasi terkini dari Peace Generation, klik di sini!
Ditulis Oleh: Intan, MENTOR ITB
Editor: Faza Rahim