Menyelami diri menjadi sebuah arti, jika kita mengetahui tentang apa yang kita selami. Ya, menjadi hal yang perlu bahkan wajib apabila diri akan melangkah lebih jauh dan lebih tinggi. Menjadi hal yang patut untuk dipelajari setiap hari guna memperbaiki kualitas diri. Kira-kira apa yang dimaksudkan? Yang dimaksudkan adalah “Berdamai dengan diri”. Selama ini, sudahkah kita berdamai dengan diri kita sendiri? Jujur tentang apa yang dirasakan, diinginkan dan dibutuhkan? Saya rasa, belum sepenuhnya jujur, bahkan boleh jadi kita masih memiliki “topeng” terhadap diri sendiri.
Tapi, kau tak perlu khawatir, karena kamu tak sendiri. Saya pun juga mengalami, memiliki berbagai “topeng” pada diri sendiri, tak mau jujur, dan pada akhirnya mengutuki diri, menuntut keadilan. Yup.. Saya, Intan. Seseorang yang dihadirkan oleh Tuhan ke dunia yang kian bertambah usia hingga hari ini. Intan yang selalu diberikan kesempatan untuk menebarkan manfaat pada Semesta-Nya. Aku pernah dalam posisi tak setegar dan sekuat hari ini. Seorang Intan pun pernah berfikir untuk mengakhiri, padahal belum waktuku untuk kembali. Menganggap Tuhan tak adil pada diriku, karena memberikan beban yang menurutku tak kuat untuk ku topang –kala itu-.
Bersembunyi dibalik rasa sakit dengan guratan senyum yang –katanya- meneduhkan. Banyak topeng yang kumiliki sejak enam tahun yang lalu. Banyak yang tak mengerti bahwa diri sebenarnya enggan pada posisi itu, yang mana harus menjalani pengobatan namun juga mendapatkan tekanan dari teman bahkan guru. Menjadikan diri ini tak percaya diri, pendiam, enggan bersosialisasi. Boleh dibilang, itu adalah tindakan bullying, namun mereka merasa tidak melakukannya. Diri merasakan berada pada titik terendah selama hampir tiga tahun. Hingga pada akhirnya diri ini memutuskan untuk abai terhadap apa yang mereka katakan, apa yang mereka pandang rendah dalam diriku. Serta, diri ini telah pasrah pada Takdir-Nya, apabila telah datang waktuku untuk kembali, maka aku akan kembali dengan sendirinya.
Perlahan namun pasti, Intan yang kian bertambah usia kini memasuki salah satu perguruan tinggi Islam Negeri di Surakarta dengan mengambil program studi Bimbingan dan Konseling Islam. Program studi yang pada awalnya tidak diinginkan namun seiring berjalannya waktu dapat diterima. Percaya atau tidak, dengan masuk di perguruan tinggi dan program studi tersebut, Allah menunjukkan bahwa ini yang terbaik. Dimana saya dapat menemukan sebuah ketenangan, menerima diri dengan lapang walau perlahan dan tentunya membuat saya lebih dekat dengan Sang Pemilik Kehidupan. Karena Allah lebih tahu mana yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan. Dan benar saja, saat itu saya tengah dalam keadaan menuju bangkit dari keterpurukan, membutuhkan ruang yang mampu membuat diri ini tenang dan menerima apa yang terjadi pada diri ini. Kemudian, Allah menjawabnya dengan menempatkan diri ini pada lingkup yang seharusnya dan memberikan penguat lewat sahabat maupun orang tua.
September 2018 menjadi jembatan dalam menguatkan dan membangun semangat dalam diri. Tergabung dalam acara BoardGame For Peace 2.0 Batch 2 yang diadakan oleh Peace Generation yang bertempat di Hotel Amarello, Solo. Ada hal yang membuatku tertarik untuk tergabung dalam acara ini, yaitu perdamaian. Perdamaian, kata yang banyak diperbincangkan namun terkadang “abai” dengan maknanya. Ya, hanya sekedar kata tak ada aksi nyata. Kala itu dalam benakku, boleh jadi dengan mengikuti kegiatan ini nantinya dapat bermanfaat untuk orang lain dan menebar damai yang dimulai dari lingkup kecil.
Terdapat satu nilai yang mencuri perhatianku, nilai pertama dari 12 NDP, yaitu Berdamai dengan Diri. Nilai pertama yang menjadi akar sekaligus pondasi dari sebuah perdamaian. Menerima diri tentunya tidak mudah, banyak “perdebatan” yang dialami. Perdebatan antara hati, pikiran dan keinginan diri, boleh jadi ketiganya tidak selaras, tumpang tindih. Bahkan jika diajak berjalan bersamaan tidak bisa, pincang. Membutuhkan waktu relatif lama untuk dapat memahami dan berdamai dengan diri. Di dalam prosesnya dibutuhkan kesabaran, komitmen, dan konsistensi serta menemukan support system yang tepat agar diri tidak goyah, artinya tidak kembali menjadi insecure.
Benar, perjalananku dalam memahami dan berdamai dengan diri masih berlanjut hingga hari ini, dan tak akan pernah berhenti. Desember, penghujung tahun 2019 ditutup dengan baik. Dimana diri ini diberikan sempat untuk menimba ilmu lagi tentang perdamaian dalam rangkaian Breaking Down The Walls (BDW). Memahami 12NDP lebih mendalam dengan metode berbeda namun mudah untuk dipahami, dan tentunya asyik untuk diterapkan. Diterapkan pada diri sendiri dan secara perlahan, bertahap akan memberikan dampak yang nyata bagi sekitar kita.
Melalui salah satu program BDW ini saya semakin memahami bahwa setiap manusia yang diciptakan oleh Allah adalah istimewa dengan kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Kelebihan yang sepantasnya kita syukuri dan kekurangan yang seyogyanya membuat kita semakin kuat untuk memperbaiki diri, tidak membuat kita lemah oleh kekurangan tersebut. Memahami, jujur pada diri sendiri adalah satu kunci dalam menerima dan berdamai dengan diri. Kita dapat menjadi penguat untuk diri kita sendiri dan orang lain. Perdamaian sejatinya dimulai dari dalam diri. Ketika engkau mampu memahami dirimu, maka engkau akan semakin memahami orang lain. Jika diri kita saja pada kenyataannya memiliki sisi yang beragam, bagaimana dengan orang lain? bukankan mereka lebih beragam dari diri kita? Dan tentunya membutuhkan pemahaman pula. Tindakan bullying cukup saya yang mengalaminya, kamu, jangan. Pikirkan terlebih dahulu apa yang mau diucapkan, dituliskan dan dilakukan. Pertimbangkan apakah nantinya akan berdampak buruk bagi orang lain ataukah justru akan berdampak buruk pada dirimu sendiri?
Damai dimulai dari diri kita yang kemudian akan membawa damai untuk dunia. To Reach Peace, Teach Peace.
Penulis: Intan Wahyu Istiqomah (Tim PeaceGen Chapter Solo)
Editor: Hayati
Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]