Menjadi seorang praktisi yang mampu menyeimbangkan antara iman, rasio dan hati nurani bukanlah perkara mudah. Namun, “Proses” tersebut tak terasa begitu berat saat Saya melaluinya bersama Sekolah Cerdas 2.0. Walau diiringi dengan ketatnya batasan, tidak membuat Saya kesulitan mendefinisikan makna “kita” dan “mereka”, justru membantu Saya untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan yang lebih besar. Masalah Saya Jawa dan mereka Sunda bukanlah perkara berat yang mampu menghambat “Proses” yang tengah Saya jalani saat ini, justru dari sana Saya belajar bahwa Beda bukanlah sekat yang lamat untuk saling mencinta.
Sekolah CERDAS (Ceria, Damai, Siaga Bencana), selama 3 Bulan Saya dibersamainya. Di utara kota, Saya peluk erat amanah untuk belajar dan mengajar. Belajar tentang tafsir sosial, kondisi alam, serta belajar tentang potensi bencana alam pun bencana sosial yang ada. Juga, mengajarkan tentang pendidikan mitigasi bencana pada 3 Sekolah penerima manfaat. Dimana Allah SWT lah yang berperan langsung dalam proses monitoring evaluasinya.
Selain karena memori pahit tentang bencana yang pernah saya alami di Pati 13 tahun silam, mengajar anak-anak adalah kegemaran khusus sekaligus spirit Saya dalam menjalani proses ini.
Hal ini, juga menjadi energy+ untuk saya yang terkadang futur dan kufur nikmat. Juga, mengingatkan saya berkali-kali untuk berhenti bercermin dan segera menyadari bahwa kontribusi terbesar pemuda-pemudi pada negara saat ini hanyalah sebatas belanja belanja dan belanja. Kita butuh aksi yang pastinya akan menimbulkan reaksi, tak peduli seberapa banyak yg kita perbuat, melainkan seberapa besar cinta yg kita berikan dalam perbuatan itu.
Dan sekali lagi, saya temukan jawabannya ada pada Sekolah CERDAS.
Terimakasih Sekolah CERDAS.
Penulis: Izza A. Kakak CERDAS asal Pati, Jawa Tengah. Tempat pengabdian: Cipanas, Jawa Barat.
Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]