Megawati: Hidup untuk Damai, Damai untuk Kehidupan

1998…. Tahun yang tak akan aku lupakan.

Terdengar teriakan histeris ketakutan, orang-orang berlari tak menentu, kecemasan terpancar di wajah-wajah mereka yang tak berdosa. Rumah-rumah terbakar, asap mengepul dimana-mana, teriakan kemarahan mengaung, perempuan dan anak-anak disuruh untuk mengungsi ke perbukitan, para lansia tak berdaya, aku tak tahu apa yang terjadi saat itu, yang kudengar hanya teriakan kebencian yang terbungkus dalam hasrat membalas dan membunuh, atau juga nasehat untuk tidak membalas yang sepertinya tak tulus terlihat dari wajah kegeraman yang tak bisa disembunyikan. Keputusasaan menghampiri ku, dalam hati ku sebuah suara berbisik… kamu harus pulang

Aku Megawati Tulak Allo terlahir dari sebuah keluarga berdarah Toraja-Morowali. Orang tua aku sudah lama merantau dan tinggal di kota Poso sejak mereka menjadi PNS. Poso kota kelahiran ku, kebanggaan ku, kuhabiskan waktu ku disini hingga aku menamatkan sekolah menengah atas ku. Banyak cerita yang telah kuhabiskan di kota ini, hidup beradaptasi dengan semua golongan tanpa harus takut dengan momok kerusuhan yang berbau SARA. Dan memang momok itu sangat jauh dari kami masyarakat kota Poso, kota kecil dengan budaya toleransi tinggi yang terbina bertahun-tahun.

Teringat masa kecil ku di kota ini, bagaimana bergaul karib dengan teman-teman yang berbeda suku dan agama tanpa ada penghalang, kadang aku berjam-jam menghabiskan waktu di rumah tetangga hanya untuk bermain bahkan ketiduran disana, demikian sebaliknya dengan teman-teman ku yang beragama Muslim, tak malu untuk tidur di kamar ku dan makan makanan di rumah ku. Relasi yang terbangun dengan tetangga kami pun sangat baik, tak malu untuk meminta sesuatu jika di rumah  sudah tak ada atau tak sempat membelinya dipasar, bagi kami itu hal yang sangat lumrah. Itu terjadi bukan karena ibu ku yang menyuruh warganya untuk membangun budaya sense of belonging (rasa memiliki, rasa kebersamaan) karena beliau adalah seorang ketua RT tetapi memang itulah budaya kami yang sebenarnya, sebuah konstruksi budaya yang tak lagi kutemukan diabad ini.

Apresiasi sebagai kota toleransi aku rasa tak berlebihan jika diberikan bagi Poso waktu itu. Bagamaimana tidak, kami sudah terbiasa hidup berdampingan dan damai tanpa harus terberenggus dalam kecurigaan dan prasangka yang buruk. Teringat bagaimana aku begitu bersemangat ketika lebaran tiba, karena saat itu aku akan membantu ibuku membuat kue dan mengantarkannya ke tetangga-tetangga, sahabat, atau kenalan keluarga kami beserta dengan minuman dan rangkaian bunga. Bahkan hari lebaran pun merupakan hari yang mendatangkan kegembiraan bagiku karena sehabis bertamu aku pasti pulang dengan membawa uang yang cukup banyak.

Bukan hanya perbedaan agama yang sudah terbiasa aku hidupi, perbedaan suku dan budaya pun telah menjadi makanan bagiku. Aku tinggal di kelurahan Gebang rejo, sebuah kelurahan yang penduduknya Mayoritas berdarah Jawa. Hampir semua tetangga ku orang Jawa, aku tak asing lagi dengan makanan Jawa, bahasa Jawa atau budayanya. Tontonan yang paling menarik bagi ku saaat itu adalah pertunjukan Kuda Lumping, walau sedikit takut melihat ada orang yang dikejar oleh pemeran kuda lumping tersebut. Baru kali ini aku melihat sinkretisme budaya yang begitu kental teraplikasi dengan baik  di masyarakat. Kehidupan ku di sekolah begitu nyaman, keharmonisan yang terbangun sangat berkesan bagiku, waktu itu tidak ada teman- teman ku yamg muslim yang memakai jilbab, aku merasa tidak ada perbedaan diantara kami, aku menyadari ini sebuah asumsi yang salah, damai itu bukan bicara keseragaman tapi bagaimana kedamaian terlihat indah ditengah keberagaman.

Sampai waktu itu tiba…..

Aku terjebak di kota ini lagi. Sebenarnya Juli 1998 aku telah meninggalkan kota ini, pergi ke Jogjakarta untuk melanjutkan pendidikan ku. Tetapi keadaan ku memaksaku untuk pulang  sebagai anak perempuan yang paling tua, aku  harus merawat ayah ku yang sakit parah. Aku berniat akan melanjutkan pendidikan di tahun berikutnya. Namun dipenghujung tahun 1998, aku melihat peristiwa yang menakutkan, yang tak pernah lekang dalam ingatan ku, yang berlawanan dengan daging ku, atau pun filosofi hidup damai yang aku hidupi. Hari ini aku terpisah dengan keluarga, aku sedang bersama teman-teman gereja bersilahturahmi dengan saudara-saudara kami seiman di kelurahan yang lain, sampai petang menjelang perang pun tak terelakkan. Terdengar gemuruh teriakan, rumah-rumah dibakar, masa berkumpul menurut golongan mereka, aroma kebencian dan pembalasan makin kental tercium. Aku tak bisa kembali ke rumah karena jalan menuju rumah ku dipenuhi konsentrasi masa yang sementara berperang, kami disuruh untuk mengungsi ke daerah perbukitan, hatiku kecil ku berteriak…. Aku ingin pulang

Mulai saat itu aku harus jujur, aku harus menenggalamkan filosofi damai yang aku hidupi, aku seperti dipaksa mengenakan jubah kebencian yang aku sendiri tak ingin memakainya. Bagaimana tidak, rumah-rumah keluarga besar ku di bakar, mereka berhari- hari harus menggungsi diperbukitan, sepupu ku hampir keguguran di tengah hutan, bahkan ibu ku dan kedua adikku harus mengungsi di tempat lain demi keselamatan mereka, dan aku, ayahku, kakak ku tak punya kesempatan untuk mengungsi bahkan nyaris mati di bakar massa di rumah kami sendiri karena memang di jalan tempat kami tinggal hanya ada empat  keluarga yang beragama Kristen. Bagaimana mungkin mereka melupakan kebaikan hati keluarga kami, bagaimana mungkin mereka dengan mudah terprovokasi oleh orang-orang yang bukan masyarakat lingkungan tempat tinggal kami, dengan mudahnya menjadi antipati dan saling membenci satu sama lain. Aku mencoba meninggalkan kenangan buruk ini sekalipun bayangannya masih tergambar dengan jelas dalam kalbu ku, tertanam kuat dalam naluriku. Tahun 1999 aku berangkat ke Makasar untuk melanjutkan pendidikan Teologia ku, aku berharap kota ku akan damai dan tak akan pernah lagi terjadi kerusuhan seperti tahun kemarin. Namun mimpi buruk sepertinya terus menghantui kota ini, tahun 1999 kerusuhan kembali terjadi, menelan banyak korban, menyisakan milyaran kerugian, menggoreskan luka dan kebencian. Ayah ku nyaris mati, ibu ku nyaris gila, rumah kami dibakar, rasanya tak ada yang tersisa lagi.

Tahun berganti. aku menyelesaikan pendidikan diploma ku, menjalankan profesiku sebagai seorang pendeta, menikah dan tingal di kota Palu sejak tahun 2001. Aku senang karena bisa tinggal di kota yang baru, walaupun harus beradaptasi dengan budaya yang berbeda, awalnya aku mengalami culture shock karena tak mudah membangun budaya dari kota kelahiran ku, lanjut ke kota Makasar, dan akhirnya tinggal di kota Palu. Aku menjalani profesiku dengan baik, membina generasi terutama anak- anak muda, aku sangat nasionalis, bukan hanya karena aku sejak muda aktif di kegiatan osis, pramuka, dan kegiatan kemanusiaan lainnya, atau pun karena aku beberapa kali mewakili provinsi Sulawesi tengah mengikuti perkemahan pramuka di tingkat nasional atau pun karena pernah mengikuti lomba pidato bertema P4 mewakili Sulteng, tetapi juga karena ajaran agama ku adalah bagaimana kita harus hidup dalam kasih dengan semua orang.

Kehidupan dan pelayanan ku berkembang di kota Palu dengan sangat signifikan. Aku mendapat banyak kesempatan melayani orang dalam banyak dalam profesi, golongan, dan tingkat pedidikan yang berbeda, apalagi setelah aku menyelesaikan pendidikan S2 ku. Dari seorang pendeta, aku mendapat kesempatan menjadi Penyuluh agama Kristen  kementerian agama Kota Palu, menjadi guru agama, bahkan sempat mengajar di perguruan tinggi. Aku terbiasa menjadi orang yang berpikir kritis terhadap sesuatu hal, memperjuangkan keadilan, berusaha hidup murni dalam kebenaran, muak dengan keadaan yang seolah dipolitisasi.  Meskipun nilai-nilai itu adalah sesuatu yang baik yang aku hidupi sampai saat ini, namun aku harus menyadari bahwa nilai-nilai itu tidak lagi murni karena terberenggus oleh pengalaman masa lalu atau sedikit ternodai oleh rasa ketidakterimaan diperlakukan sebagai kaum minoritas.  Aku belajar banyak hal, mengikuti workshop, seminar, membaca banyak buku, aktif berorganisasi bahkan aktif  sebagai pemerhati kehidupan politik, sosial, dan kemanusiaan. Meskipun terlihat sebagai orang yang sangat aktif dan konsen dalam pembangunan generasi, aku sendiri sedang bergumul dengan diri ku sendiri sebenarnya apa yang sedang saya bangun, adakah motif tersendiri dalam ambisi dan pengajaran ku, apakah aku melakukan semua ini sebagai pembuktian jati diri atau sekedar membuktikan bahwa kami kaum minoritas memiliki kompetensi yang sama dengan yang lainnya. Apakah  perdamaian yang saya ajarkan kepada umat dan kaum akademisi adalah murni sebuah kebenaran atau secara implisit mengandung nilai bertahan atau sekedar melindungi diri dari ketidakadilan yang dirasakan. Bagaimana mungkin aku dapat merefleksikan nilai perdamaian itu sendiri kalau aku belum sepenuhnya berdamai dengan masa lalu, hidup dalam ketakutan, dan keyakinan ku yang terkesan bias. Aku menyadari aku mengalamai degradasi perspektif, tidak lagi dapat melihat suatu kondisi secara komprehensif. Aku ingat bagaimana aku beberapa kali keluar dari grup alumni SMA ku hanya karena merasa tersisih karena kami hanya tiga orang yang beragama Kristen, atau karena teman-teman ku sering mengirim informasi yang berkaitan dengan ajaran mereka. Bukan karena membenci hanya karena ketakutan yang berlebihan yang merasa tak pantas berada dalam komunitas itu. Namun mereka terus memasukan aku dalam group itu dan berkata kamu paling tepat ada disini, jiwa nasionalis dan penerimaan mu sangat baik. Aku merasa itu sebuah perspektif yang berlebihan. Atau bagaimana rasa ketakutan yang berlebihan hanya karena aku tidak berhijab, bagaiman penerimaan orang lain dengan kami yang tidak berhijab, dengan stigma negatif tentang perempuan yang tidak menutup aurat.

Sampai pada suatu hari seorang anak rohani ku, yang adalah seorang mahasiswa UNTAD mengirimi ku sebuah pamlet Training for Peace Educator yang dilaksanakan oleh Peace Generation. Awalnya animo ku hanya digerakan oleh rasa penasaran apa sih perbedaan dengan training yang pernah aku ikuti sebelumnya, muatan apa yang bisa aku pelajari, sejauh mana esensi pengajarannya bermanfaat bagi masyarakat. Ternyata training ini melebihi ekspektasi ku, aku mendapatkan apa yang selama ini aku cari, aku bertemu dengan trainer-trainer hebat yang bukan hanya mereka mempunyai sumber daya yang mumpuni untuk menerjemahakan 12 nilai perdamaian tetapi bagaimana mereka menghidupi nilai itu sendiri. Bagaimana mereka tidak canggung menyebutkan nama Tuhan dari agama lain, salam, atau ucapan-ucapan yang biasanya tidak lazim diucapkan menurut ajaran imannya.  Bukan hanya itu aku bertemu dengan peserta lainnya yang notabene adalah tenaga pendidik dan mahasiswa yang adalah kaum intelektual, yang intelektualitas mereka dapat mereka terjemahkan lewat persahabatan hangat, penerimaan, dan dukungan kepada semua orang, hal ini membuat aku sangat bersyukur bisa terbebas dari persepsi dan rasa disclaimer yang berlebihan.

Training for Peace Educator adalah titik balik  dalam hidupku, aku sepertinya menemukan suntikan semangat hidup, untuk terbebas dalam masa lalu, pandangan yang salah yang aku bangun bertahun-tahun, dan melihat diri sendiri bahkan orang lain dengan perspektif yang berbeda. Selesai mengikuti training,  terjadi perubahan yang fundamental dalam diriku. Aku mulai membangun persahabatan yang lebih murni, aku buang semua ketakutan ku, aku membangun jejaring dengan semua kalangan tanpa ada rasa curiga dan prasangka, rasanya aku menemukan kebebasan ku tanpa harus takut dengan stigmatisasi masyarakat. Bukan hanya itu aku mulai mengajarkan nilai-nilai ini kepada jemaat ku, murid-murid ku, mahasiswa dan bahkan semua orang yang aku temui. Aku melatih diriku dan orang lain untuk terbiasa hidup dalam kehidupan sosial yang humanis.

Perjuangan ku mengimplementasikan nilai-nilai perdamaian tidak hanya sampai di kelas saja tapi aku mulai menjadikan materi ini sebagai sesuatu yang wajib dipelajari, sejak bulan September 2019 aku menjadikan 12 nilai perdamaian sebagai materi wajib Bible Camp PPK (Persekutuan Pelajar Kristen) SMK Nusantara Palu, dan itu akan kami lakukan setiap tahun. Aku telah mengajak OSIS sekolah kami untuk menjadikan materi ini sebagai materi wajib bagi siswa baru yang akan masuk disekolah kami, training pertama akan dilaksanakan tahun ajaran yang baru.

Keinginan ku untuk menyebarkan virus perdamaian seolah tak terbendung. Aku mungkin bukan ahli dalam hal ini, karena sampai titik ini aku pun masih dalam proses belajar, aku terus berusaha memperkenalkan niali-nilai ini kepada rekan-rekan seprofesiku yakni guru-guru agama Kristen. Melalui MGMP aku berusaha menjelaskan  apa itu Peace Generation dan 12 nilai pengajarannya, kerinduan ku guru-guru agama dapat menemukan jati diri mereka dalam perspektif baru dan terbebas dari sikap apatis dengan mengaplikasikan niai-nilai perdamaian, bahkan mengajarkan murid-murid mengaplikasikannya. Puji Tuhan, mereka tertarik dan akan membicarakan waktu yang tepat melaksanakan training ini.

Menjadi Agent of Peace merupakan sebuah kehormatan bagi ku. Apalagi mendapat kesempatan dapat bergabung dalam kepengurusan Peace Generation Chapter Sulteng, mengikuti Training of Trainer, bahkan menjadi fasilitator untuk kegiatan BDW, bagi ku untuk sebuah kepercayaan besar yang harus saya emban dengan baik. Tak pernah terpikirkan oleh ku, dapat mengajarkan nilai-nilai ini kepada guru-guru SMAS Muhamadiyah SMAS Imanuel Palu. Yang kutahu perubahan harus dimulai dari pendidik kemudian disalurkan kepada peserta didik. Pendidik harus dapat mengembangkan dirinya terlebih dahulu.

Kehidupan penuh damai dan humanis ku temui di Peace Generation. Aku merasa diterima sebagai keluarga oleh rekan-rekan fasilitator, rasanya menemukan patner sekaligus saudara untuk membangun peradaban yang semakin baik, saking akrabnya terkadang kami sering memberikan bulian-bulian yang humoris (itu sebelum buku Happy tanpa Bully diberikan…ha…ha…ha.).

Peace Generation… terima kasih untuk banyak hal yang bisa aku pelajari

Disini aku belajar, menerima diri sendiri, hidup tanpa curiga dan prasangka, hidup berdampingan dalam budaya dan keyakinan yang berbeda, menerima perbedaan gender, tingkat sosial, dan bagaimana dapat mengelola konflik dengan baik. Disini aku belajar, apapa pun kamu Monotheist, Atheist, Polytheist, you are Human-KIND for Humanity and The universe. Siapa pun kamu dan apa pun agama mu kembalilah kepada keharmonisan, Kebaikan, Altruism, Empathy, dan Sympaty

Aku semakin yakin suara hatiku yang berbisik 22  tahun lalu tidak lagi berbisik kamu harus pulang ke rumah mu… tapi pulang pada kehidupan baru dalam perspektif baru.

Banyak hal yang berubah dalam dunia ini… namun satu hal yang aku yakini tidak akan berubah, yakni…. Hidup untuk Damai, Damai untuk kehidupan

Aku… Megawati Tulak Allo.

Salam Damai……

 

Penulis: Megawati Tulak Allo (Fasilitator Projek Breaking Down the Wall Chapter Sulteng)
Editor: Hayati

Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]

 

Daftar untuk mendapatkan info & promosi menarik!