Edah Jubaedah: Mendidik tapi Menghardik (Sebuah Narasi Playing Victim)

Menjadi senior memang diibaratkan seperti mata pisau yang berbeda. Jika kita pandai memanfaatkan peran kita sebagai senior maka akan memberikan dampak yang baik bagi juniornya. Namun, sebaliknya jika salah memanfaatkan peran sebagai senior maka yang muncul ialah rasa senioritas atau senior maha benar, harus selalu dipatuhi segala perintahnya atau justru malah mendidik dengan cara menghardik. Kemunginan itulah hal buruk yang muncul jika kita hanya memiliki sebatas menjadi senior yang mendidik tapi menghardik. 

Sebagai contoh pada tahun 2019 salah satu Universitas di Maluku Utara  ditemukan sebuah perpeloncoan kaderisasi dengan mengharuskan mahasiwa baru menaiki tangga dengan jalan jongkok dan saling berbagi air minum (kompas.com). 

Sebagai penguat dari contoh di atas, bahkan saya sendiri mengakui dengan kesadaran hati bahwa saya telah menjadi bagian dari aktor senior yang mendidik tapi menghardik. Pada satu momen kaderisasi di salah satu organisasi, saya yang berkedudukan sebagai anggota dari Divisi organisasi tersebut pasalnya melakukan pengkaderan dengan cara yang katanya mendidik. 

Cara mendidik dalam kaderisasi tesebut yaitu dengan cara junior harus selalu patuh pada senior karena saya merasa bahwa saya dulu juga harus seperti itu, maka daripada itu saya memberlakukan itu kembali kepada junior saya, misalnya dengan cara harus mengikuti perintah senior, ketika senior butuh maka junior harus selalu ada dan menuyuruh junior padahal yang memang bukan tugasnya atau penyalahgunaan kekeuasaan (abuse of power). 

Namun, dengan memberlakukan junior seperti itu, karena mereka posisinya masih sebagai junior, secara langsung mereka tidak ada komplain sama sekali. Seolah-olah mereka menerimanya karena yaitu tadi tugasnya junior ialah patuh terhadap senior. Namun, waktu bergulir dan pada suatu waktu saya diberikan kesempatan untuk menjadi mentor Frosh Project Id sebuah program dari PeaceGen.Id yang tugasnya untuk menyampaikan materi yang telah dipersiapkan untuk mentee. 

 Setelah mempelajari dan berdiskusi dengan mentee ternayata cara kaderisasi tersebut merupakan salah satu bagian dari narasi playing victim dimana menempatkan dan menggiring sudut pandang agar terlihat sebagai golongan atau kelompok yang menjadi korban. Sehingga membolehkan untuk membalas dendam atau membela habis-habisan karena telah menderita. 

Menyadari dari adanya sebuah Narasi playing victim ternyata sadar atau tidak sadar saya telah menjadi aktor dari narasi tesebut bukan hanya sebatas penyampai materinya saja kepada mentee. Jika kita pikirkan lebih dalam dari kaderisasi yang sifatnya mendidik tapi menghardik justru sistem tersebut tidak memberikan pendidikan moral yang lebih baik, membiarkan budaya senioritas hidup, tidak timbulnya rasa sense of belonging antara senior dan junior dan tidak menjadikan junior sebagai partner untuk menjadi garda power of change sebagai ruh mahasiswa. 

Menjadi junior sangatlah berkesan, namun jika hanya menjadi junior yang selalu “iya-iya saja” menuruti perintah senior hanya akan menjadikan kamu seperti bayi yang diberi makan apapun pasti akan ditelan. Pun demikian, menjadi senior sangatlah menyenangkan karena memiliki junior sebagai regenerasi kehidupan orgnisasi. Namun tidaklah hebat, jika menjadi senior yang hanya menunjukkan taring kekuatan yang tidak jelas sebagai senior dengan mudah memperlakukan junior seenaknya tanpa ada suri tauladan akhlak dan kepemimpinan yang baik untuk juniornya. Maka agar keduanya seimbang, hendaknya junior dan senior menjadi partner yang baik saling menguntungkan dalam tumbuh kembangnya sebuah kehidupan organisasi di kampus dengan menjadi junior yang bijak dan senior yang memiliki suri tauladan kepemimpinan yang baik.

Oleh: Edah Jubaedah, MENTOR FROSH UPI

Editor: Faza

Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]

Daftar untuk mendapatkan info & promosi menarik!