Baik perkenalkan nama saya “Mukhlis Ardi Pratama” anak pertama dari tiga bersaudara. Menjadi seorang kakak merupakan hal yang sulit bagi saya, kenapa begitu? Karena kakaklah yang selalu disuruh melindungi adiknya, menjadi panutan, bahkan menjadi orang yang harus banyak mengalah. Ya itu saya rasakan di kehidupan saya. Saya menjalani masa kecil yang bisa dibilang lumayan susah karena disaat saya kecil bisa dibilang ekonomi keluarga saya masih jauh dari kata cukup sehingga kerasnya hidup saat itu membuat saya jauh dari orang tua, bahkan yang menemani saya sekolah TK dulu adalah orang lain yang biasa saya sebut bibi. Masa kecil saya memang terkenal nakal saya pernah nekat hampir mematahkan kaki saya sendiri disaat saya TK. Ceritanya dulu saya di jemput dengan menggunakan sepeda, entah terfikir apa , saya iseng bilang ke bibi saya waktu itu, kurang lebih saya bilang kalau kakiku mau tak masukin roda sepeda. Dan yang membuat bibi saya takut hal itu saya lakukan beneran sampai roda sepeda itu melilit kaki kanan saya, dan itu saya masih ingat betul sampai beberapa hari saya tidak masuk sekolah karena kaki saya patah. Lalu masuk kelingkungan SD itu saya mulai berkreasi dan mengukir banyak kejuaraan juga. Hingga akhirnya suatu keputusan yang merubah hidup saya, ya kehidupan pesantren. Dunia dimana tidak ada didalam list kehidupan saya, bahkan belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Banyak hal berubah disana, tatkala itu saya masih anak smp yang tidak mengetahui apa-apa. Diwaktu itu saya masih merasakan yang namanya pemukulan,pembullyan, dan anekaragam kejahatan begitulah bahasa istilah saya. Ya mungkin dikalangan banyak orang pesantren itu indah,banyak mengaji dsb, tapi bagi saya dunia pesantren itu seperti neraka. Sempat saya kabur diwaktu dulu karena mungkin tidak kuat dengan pembullyan yang terjadi. Dan dulu saya orangnya pendiam, saya takut untuk lapor kepada Pembina pesantren atau bahkan orang tua saya sendiri. Hingga akhirnya saya menemukan teman yang sejalan dengan saya, disitu kita mulai mencoba buat bertahan disana.
Berlanjut ke masa SMA dimana saya menjadi kakak tingkat yang mengasuh adik tingkat dibawahnya . Saya merasa bebas disaat itu, bebas dalam artian tidak dikekang seperti saat SMP dulu, karena saya sebagai pengurus adik-adik tak jarang berdebat bahkan mungkin dapat cibiran dari mereka. Hingga pernah suatu hari ada yang melanggar aturan lalu kita sebagai pengurus mengingatkan namun malah dibantah oleh mereka dan mereka malah melawan, karena mungkin saya sudah tidak sabar dengan kelakuan mereka terjadilah disana saling pukul, hingga mengundang keributan. Dan hal itu tak jarang terjadi. Bahkan saya sendiri pernah sebagai pelopornya. Jadi ceritanya begini, disuatu hari saya dengan teman-teman pengurus mengadakan study banding di semarang, dan harus meninggalankan adik-adik tingkat. Malamnya disaat kita pulang, kamar kami sudah terbuka dan berantakan, seketika entah karena mungkin kita capek tersulutlah emosi, kita kumpulkan adik-adik kelas kita tanyakan ke mereka siapa yang berani memasuki kamar pengurus. Setelah ada yang mengaku saya tendang mereka, kurang lebih disaat itu ada tiga atau empat orang saya lupa. Saking tersulutnya emosi saya,hingga saya ditarik teman saya untuk menjauh dari tempat itu. Dan ya begitulah yang saya rasakan disaat berada di dunia pesantren. Berlanjut ke dunia perkuliahan. Saya kuliah di Ma’had Abu Bakar Ash-Shidiq Universitas Muhammadiyah Surakarta. Ya bisa dikatakan saya mengambil prodi sastra arab disana.
Training PeaceGen pertama yang saya ikuti adalah BoardGame For Peace. Berkat izin Allah saya disana diajak sebagai penyelenggaran di chapter solo kala itu. Singkat cerita saya mengikuti BGFP 2.0 dari Batch 1 hingga 4. Disitu saya bertemu orang-orang hebat yang ada disolo, saya belajar bahwa kita dapat bersenang-senang sambil menyebarkan kebaikan. Ya lewat game kita bisa belajar menyampaikan perdamaian yang mungkin sepele dibenak kita namun spesial di mata orang lain. Saya disana sabagai dokumentasi, jadi lewat media itu saya belajar juga bagaimana para fasil menyampaikan materi-materinya. Dikala itu saya belum paham dengan kata 12 nilai perdamaian hingga akhirnya di saat BGFP 2.0 Batch 4 saya mencoba menyampaikan satu materi, saya masih ingat disaat itu saya bersama Fiskal menyampaikan Indahnya perbedaan. Walau hanya menjadi pendamping saya sudah belajar banyak. Lalu juga saya mengikuti Peacesantren. Disana saya sudah menjadi fasilitator yang menyampaikan no curiga no prasangka. Walau masih dibilang amatiran tapi setidaknya dalam benak saya untuk menebarkan pedamaian sudah terealisasi.
Lalu saya mengikuti training 12 NDP yang di fasilitatori oleh kang Huda dan Teh Dewi. Saya merasakan benar-benar pentingnya disetiap satu nilai bagi diri saya. Saya betul-betul memperhatikan bagaimana kang huda menyampaikan pernilai hingga hal itu bisa saya bawa pulang dan terapkan di kehidupan saya. Dan diantara 12 Nilai yang menurut saya paling ngena (paling Nendang) di kehidupan saya adalah No curiga No Prasangka & Memahami Konflik. Disini saya seakan dikembalikan kemasa saat saya tawuran, membully, bahkan mengedepankan emosi saya. Saya merasa bahwa ternyata selama ini apa yang saya lakukan benar-benar salah. Dan betul setelah training 12 NDP ini saya berusaha untuk bersikap lebih sabar, tidak mudah tersinggung, menghadapi dengan kepala dingin. Hingga suatu saat ada cerita begini, dahulu saya pernah di khianati sahabat saya hanya karena jabatan. Kita sudah merancang system kepemimpinan kita dengan sebaik mungkin tapi dia hancurkan karena ada orang baru. Disaat itu saya entah merasa seperti kehilangan rasa percaya kepada semua orang. Lalu selang waktu lama saya berniat ingin berdamai dengan hati dan kondisi saya. Dengan rasa lapang saya mengajak dia mengobrol dan mencoba untuk keluar dari masalah ini. Singkat cerita sebelum saya mencoba membuka komunikasi dengan dia, saya menghubungi seseorang, saya konsultasi kedia dan dia mengarahkan saya untuk berdamai dengannya, namun ya siapa yang tidak emosi ketika bertemu dengan orang yang paling ia benci. Lewat perantara orang ketiga saya mulai komunikasi dengan dia, hingga akhirnya tanpa rasa emosi dan dendam kita berdua berdamai.dan masih banyak lagi pelajaran dari 12 NDP yang terjadi dikehidupan saya hingga saat ini.
Sebagai Tim Fasilitator BDW ada pengalam diluar yang menurut saya relevan untuk di respon, yaitu pembullyan melalui medsos, mudahnya akses media tak hanya memiliki nilai positif namun juga nilai negatif yang menyerang psikis manusia. Saya sering mendapati kasus pembullyan online hingga berujung pada narkoba, bahkan paling parah bunuh diri. Kejadian ini juga yang mendorong saya ingin menjadi tim fasilitator BDW, selain dari diri saya pribadi. Karena saya sudah cukup miris dengan para korban bullying ini. Bahkan banyaknya kasus bunuh diri ini diakibatkan karena pembullyan, sehingga saya merasa seperti terpanggil untuk melakukan perubahan. Saya memiliki beberapa inovasi salah satunya ialah dengan memperhatikan,meneliti lebih jeli lagi dengan apa yang kita post pada sosmed, juga sosialisasi tentang kasus bullying ini, sehingga sudah ada antisipasi ketika ada kasus seperti ini. Selain dari itu saya sendiri sudah cukup bosan menjadi korban dari bullying, sudah cukup saya yang merasakan, sekarang waktunya untuk kita menghentikannya. Jangan bersikap wajar dengan pembullyan, karena ia menyerangnya psikis bukan fisik. Mari kita menjadi pelopor damai bagi diri kita dan lingkungan kita.
Saya berharap melalui cerita saya dimasa lalu sebelum mengenal 12 NDP dapat menjadi pembelajaran bagi kita, bahwa emosi tak dapat menyelesaikan masalah, kita harus mengklarifikasikan dahulu dan bila terbukti salah jangan main hakim sendiri, kita serahkan pada pihak yang berwenang pada masalah tersebut. Mari kita berdamai dengan apa yang kita punya,jangan ada rasa menjatuhkan karena sejatinya kita ini tercipta dengan keistimewaan masing-masing. So peace begins with yourself.
Penulis: Mukhlis Ardi Pratama, Tim PeaceGen Chapter Solo
Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]