Menjadi seorang perempuan yang selalu belajar menutupi sebagian identitasnya ternyata tidak mudah. Semakin berusaha, semakin terasa tantangannya.
Menjadi sosok perempuan kuat yang tak mau dianggap cengeng dan lemah, jangankan menangis, untuk menceritakan kesedihan ke orang-orang terdekat pun butuh berpikir ribuan kali, itulah saya.
Saking “inginnya” dianggap sebagai sosok kuat oleh orang-orang disekitar saya, saya menjadikan tangisan sebagai pantangan.
Bagi saya, menangis adalah hal tak boleh dilakukan agar dipandang sebagai wanita kuat baik oleh orang-orang terdekat ataupun lingkungan di mana saya hidup.
Ketika pada akhirnya saya terpaksa dan sangat butuh menangis, saya hanya berani menangis diatas sejadah setelah selesai beribadah dengan kondisi sepi dan hening.
Seringkali saya juga menangis dengan dibarengi air kran di kamar mandi dengan maksud agar tidak terdengar orang. Lucu memang.
Diri ini sering bertanya-tanya apakah untuk menjadi wanita kuat sangat dilarang keras untuk menampakkan tangisan termasuk ke orang-orang terdekat?
Pertanyaan tersebut, jika dijawab sekarang, otomatis jawabannya adalah “TIDAK”. Menangis adalah sebuah ekspresi diri dan bagian dari penerimaan emosi yang berhubungan dengan kesehatan mental seseorang.
Kekeliruan pemahaman dahulu yang begitu menyiksa memang tak bisa dipungkiri salah satunya adalah anggapan bahwa menangis identik dengan hal lemah dan ketidakberdayaan. Terlebih menangis di ruang terbuka. Itu adalah hal yang sangat memalukan.
Ketika kesedihan muncul, misalnya dalam suasana yang mendukung untuk menangis pun, saya berusaha keras agar air mata tidak jatuh karena akan ada rasa malu ketika menangis di tempat umum padahal itu situasi yang normal untuk menangis.
Mengungkapkan diksi yang bermakna kesedihan kepada sahabat pun sangat ragu, saya hanya berani bercerita kepada orang yang benar-benar saya percaya dan itu hitungannya jari pun tidak habis.
Memendam sebuah rasa sedih sangat tidak enak dan harus diakui itu merupakan beban yang cukup mengganggu kehidupan saya khususnya perkuliahan.
Berbicara tentang kesedihan saya ingat bahwa Allah SWT berfirman bahwa ”jangan bersedih, Allah bersama kita”.
Firman tersebut saya yakini bahwa Allah sebagai Tuhan pun melarang untuk jangan bersedih yang berlarut-larut sehingga menyebabkan sebuah kemudaratan yang berkepanjangan BUKAN larangan bersedih ataupun menangis yang merupakan ekspresi emosi dan bagian dari jiwa manusia normal.
Sangat normal bahkan ketika seseorang mampu mengekspresikan emosi yang salah satunya adalah menangis. Materi pembelajaran di Frosh Project diantaranya ada Castle of Soul. Sebuah materi yang membahas tentang jiwa manusia yang erat kaitannya dengan pengelolaan emosi.
Emosi sangat berpengaruh pada pikiran, dari pikiran ke perilaku seseorang dan akhirnya sangat berdampak pada fisik. Teori segitiga emosi tersebut saya pelajari dengan serius dan memang benar itu yang saya rasakan, ketika memendam sebuah kesedihan ada sakit dalam jiwa saya yang beda dari sakit pada umumnya.
Semangat belajar menurun, gampang stress, daya tahan tubuh pun menurun padahal pola makan selalu dijaga dengan baik.
Akhirnya, setelah saya memahami maksud dari pembelajaran melalui Castle Of Soul yang berhubungan dengan pengelolaan emosi, saya menerima bahwa menangis adalah sebuah hal yang wajar, tidak menyalahi norma apapun, tidak melanggar syariat agama, dan saya menikmati ketika saya menangis.
Saya menerima kesedihan saya lalu saya luapkan dengan keluarnya air mata, saya tidak malu ketika pada suatu kondisi saya bersedih dan air mata saya hendak keluar saya mengeluarkan kesedihan tersebut dengan tangisan.
Menangis adalah bagian dari emosi yang harus diekspresikan, diterima, dan wajib untuk dikelola sebagai usaha untuk menjaga kesehatan mental kita.
Jangan malu untuk melenguarkan tangisan karena hakikatnya menangis adalah bagian dari jatah hidup kita sebagai manusia normal.
Oleh: Nita Mujahidah, MENTOR FROSH UPI
Editor: Faza
Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]