Nur Indah Talele; Ikhlas Memaafkan Membuat Kita Kuat

Panggil saya Talele, 23 tahun, seorang perempuan yang kini menjadi pemberani, percaya diri serta mudah bergaul dengan siapa saja. Kata kunci di modul nilai ke-12, bahwa “memaafkan adalah keputusan dan pembuka jalan perdamaian,” merupakan tonggak awal di mana saya menghilangkan semua prasangka dan hal negatif dalam diri.

Masa kecil saya tidak seceria sekarang. Saya anak kedua dari 4 bersaudara. Dari usia 5 tahun, saya telah menjadi anak yatim. Ayah saya meninggal saat usia kami berempat masih begitu kecil. 

Saat itu, kakak saya kelas 3 SD, saya berusia 5 Tahun, dan adik saya baru berumur 1 tahun. Saat itu juga Ibu saya sedang mengandung anak ke kempat. Tahun 2001 adalah awal dari cobaan besar itu. Ibu harus menghidupi kami di tengah hutang yang melanda keluarga. Pasar adalah hal yang mahal untuk saya.

Saya tumbuh tidak seperti anak kebanyakan. Saya sering berjalan kaki saat pergi ke sekolah. Saya sering tidak jajan, bahkan seragam sekolah harus dipakai berulang-ulang setiap naik kelas.

Ibu memang seorang PNS, namun ia harus merelakan sebagian besar gajinya untuk membayar utang. Hidup masa kecil di keluarga sederhana itu harus saya lalui dengan kesedihan di setiap harinya. Di sekolah saya menjadi korban bully, fitnah, bahkan saya dijauhi oleh teman-teman.

Tak hanya saya, bahkan kakak saya juga mengalami hal yang sama, karena kami bersekolah di sekolah yang sama. Bahkan kami berdua sering dijadikan “babu” oleh teman-teman kami yang menganggap dirinya paling kaya.

Saya dan kakak tak bisa berbuat apa-apa, kami tak memiliki Ayah yang bisa melindungi kami. Saya selalu berharap tak ada yang mengalami hal serupa seperti yang kami alami. Dari kelas 1 hingga kelas 6 SD, saya di rumah harus kuat dengan tetangga yang setiap hari menggosipkan Ibu saya yang seorang janda.

Mereka menganggap bahwa tidak memiliki ayah dan suami adalah seorang sampah. Saya tak tahu apa salah kami. Itu bahkan dlilakukan oleh paman dan bibi saya sendiri, bahkan di tengah rumah kami kerap dihantui lemparan batu. 

Kami pernah diusir. Ketika ibu sakit, tak ada tetangga yang peduli. Pernah suatu ketika, saat Ibu sakit, dan saat itu saya kelas 4 SD, saya dengan adik memberanikan diri datang ke rumah seorang perawat di kampung untuk meminta obat dengan derai air mata. Saat itu saya tak merasakan keadilan.

Sangat sedikit sifat tolong-menolong. Bahkan saat di TPA, saya pernah difitnah mencuri uang sahabat saya yang membuat sekampung membenci saya. Karena itu, ibu saya sampai berkali-kali memukul dan memarahi saya dengan hal yang tidak saya lakukan. Namun, dalam kesendirian saya tetap fokus belajar, dan itu membuat saya selalu menjadi juara kelas. 

Masa SD saya memiliki kenangan bahwa tak mempunyai seorang pelindung bukanlah sebuah keberuntungan. Kemudian masa SMP, saya dididik dengan keras di Pramuka. Saat itu saya kembali menyaksikan banyak budaya kekerasan yang  diwariskan, dan melekat pada diri saya hingga SMA. Walau itu melatih saya menjadi pribadi yang kuat, sejujurnya itu juga menyisakan trauma dan rasa takut.

Saat itu saya hampir mati. Namun tetap berjuang keras untuk bertahan. Meskipun saya mulai menyibukan diri dengan mengikuti berbagai lomba, saya tetap jadi juara kelas. Kekerasan bagi saya bukan hal yang tepat dalam pembentukan karater.

Usai masa SMA, saya menjadi siswa yang rajin mengikuti kegiatan di mana-mana. Masa SMA saya tak seperti kebanyakan orang. Saya bersekolah dengan bangunan seperti di film “Laskar Pelangi.” Sekolah kami waktu itu begitu ringkih, dan hanya ada 2 kelas, yang itupun berdampingan, dan setiap musim hujann selalu bocor. Beberapa kali kami sekelas dengan tikus yang lalu lalang saat belajar. Seng selalu terbuka saat datang anging kencang. 

Kami takut dikala bangunan tua roboh. Itu bukan bangunan asli sekolah kami, kami hanya numpang karena bangunan sekolah kami belum dibangun. Di SMA, saya kembali menjadi korban bullying, bahkan menyangkut orang tua saya. Itu dilakukan oleh guru dan teman kelas saya yang pertama kali dipicu saat pertama kali saya terlambat datang kesekolah dengan alasan ibu saya sakit. Hari itu guru saya tidak menerima alasan yang saya berikan. 

Beliau seorang sguru fisika. Suatu ketika teman saya berkata tentang cita-cita saya yang ingin menjadi presiden. Mendengar hal itu, guru saya berkata: “kamu tidak usah bercita- cita tinggi, kamu itu anak kampung, muka istri pejabat saja tidak ada, jangan mimpi.

Kamu itu dididik apa sih sama orangtuamu? Tidak Beres didikan orang tuamu!” Cita-cita saya dipatahkan oleh guru saya sendiri. Saya berurai air mata, apalagi ucapannya menyangkut orang tua saya. Saat itu saya berkata dalam hati: ”kalian boleh hina saya hari ini, tapi suatu saat nanti kalian akan bangga pernah kenal dengan saya.”

Ucapan itu saya buktikan saat saya kuliah. Saya mengenal banyak komunitas. Saya juga masuk lembaga di kampus. Namun lagi-lagi saya menerima perlakuan yang bahkan membuat saya trauma dan sangat takut. Dalam pengkaderan kampus, bukan fisik saja yang lelah, tapi mental yang begitu tertekan.

Ada salah senior yang membuat saya sangat takut dan marah ketika bertemu dengannya. Namun itu angin segar mulai datang kepada saya saat suatu hari berkenalan dengan KITA Bhinneka. Di sana jugalah awal saya mengenal Peace Generation dan belajar 12 Nilai Dasar Perdamaian.

Awalnya, saya mulai memperbaiki diri, dan menanyakan tentang berbagai hal kepada diri saya sendiri. Saya adalah seorang korban kekerasan fisik dan mental sejak umur 6 tahun yang kini menemukan cahaya dengan cara memafkan semuanya. Saya membuka diri dan melupakan hal negatif serta lebih banyak berbuat positif. Hal yang saya syukuri dari 12 Nilai Dasar Perdamaian itu saat saya bisa berbagi pengalaman ke sekolah-sekolah dan komunitas. 

Saya menjadi pribadi yang berbeda di keluarga setelah belajar 12 Nilai Dasar Perdamaian. Banyak perubahan nyata, saya lebih menghargai perbedaan, etnis, agama, status ekonomi. Itu semua saya terapkan di kegiatan saya saat menjadi volunteer, dan di berbagai lingkungan mulai dari keluarga, sekolah, pertemanan.

Karena itu juga saya bisa mengikuti kegiatan skala internasional, yang alhamdulillah puncak dari itu saya bersyukur kepada Tuhan karena telah memberikan saya pejalanan hidup yang luar biasa.

Saya selalu berdoa semoga 12 Nilai Dasar Perdamaian ini bisa saya tularkan ke lebih banyak orang lagi. Saya ingin mengatakan bahwa menjadi berbeda itu indah, dan di keindahan itu kita banyak belajar untuk memahami, menghargai, dan selalu memberikan kesempatan untuk berbuat baik.

Akhirnya, setelah saya mengikuti banyak lomba di sela-sela kuliah, di tahun 2016 saya mendapakant penghargaan menjadi mahasiswa berprestasi tingkat universitas. Saya diundang banyak acara TV lokal. Saya bersyukur prestasi saya dimuat d imedia cetak, bahkan di majalah kampus. 

Hal itu juga ramai di media sosial. Dari sana saya tak menyangka bahwa orang yang menghina saya dulu semua minta maaf, bahkan dari keluarga, teman dan senior saya. Karena saya telah belajar 12 Nilai Dasar Perdamaian, hal itu pun saya amalkan kembali dengan memaafkan mereka.

Saya bertekat untuk belajar lebih giat dan menjadi seorang yang selalu bermanfaat bagi sekitar. Sampai sekarang saya masih aktif di Pramuka, dan tidak akan menggunakan kekerasan dalam saat mendidik adik-adik saya. Semoga banyak hal baik yang bisa kita lakukan bersama. Damai di dunia mulai dari diri kita. InsyaAllah kedamaian itu sampai akhirat. Nuun Walqalami Wamaa Yasturun. Nuun demi pena dan segala apa yang dituliskan-Nya.

 

Penulis: Nur Indah Talele, Fasilitator BGFP Makassar

Editor: Zulkifli Fajri Ramadan

Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]

Daftar untuk mendapatkan info & promosi menarik!