“Kita tidak pernah tahu, di mana kita lahir, dan siapa jodoh kita”
Nama saya Ute. Saya lahir dari sebuah keluarga yang (mungkin) dulu cukup baik baik saja. Sebagai seorang anak yang dibesarkan dengan tata krama perbedaan budaya di dalam rumah, saya lahir dan tumbuh menjadi anak yang unik. Saya adalah remaja korban pelecehan seksual.
Ya, itu terjadi ketika saya di bangku SMP, dan selama 3 tahun di sebuah asrama. Saat itu saya tak ingin melanjutkan hidup dan mencoba untuk bunuh diri sebanyak 3 kali. Namun ajal belum datang pada saya saat itu. Saya menghabiskan masa remaja dengan kondisi yang sangat tidak baik.
Setelah saya dewasa dan menyelesaikan pendidikan S1, saya masih belum berubah. Saya masih menyimpan luka dan dendam yang teramat dalam. Sampai satu hari, saya mengalami rekonsiliasi dengan bapak saya. Saya berpikir bahwa momen itu merupakan apa yang saya inginkan selama hidup saya. Saat itu, saya bisa mencurahkan semua dendam dan benci di dalam diri saya.
Saya melihat bagaimana cara hubungan yang kembali baik setelah saya bertemu dengan bapak saya dan melakukan rekonsiliasi. Saya mengalami sebuah terobosan baru dalam hidup saya. Tapi saat itu masih dalam sebuah proses yang cukup panjang.
Saya mulai berpikir bagaimana caranya agar tidak ada lagi anak-anak, remaja, serta orang di luar sana yang mengalami hal yang sama seperti saya rasakan. Saya mulai berbaur dan melakukan hal-hal kecil, mulai dari diri saya hingga lingkungan sekitar.
Tahun 2011 saya diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan 12 Nilai Perdamaian di Bandung. Dari sana mulai terbangun mimpi dan rencana dalam benak saya untuk melakukan banyak hal. Waktu saya membaca berulang-ulang modul 12 Nilai Dasar Perdamaian, saya renungkan isi dan kandungannya.
Membacanya membuat saya semakin bergairah. Saya berpikir bahwa ini merupakan jalan yang diberikan Tuhan untuk saya mulai bereksprimen malakukan suatu perubahan, karena semua isi yang terkandung di dalamnya adalah apa yang saya pernah alami. Saya kembali berproses.
5 tahun sudah saya menjalankan nilai-nilai yang luar biasa ini. Saya menemukan sebuah tantangan baru di dalam diri saya sebagai seorang konselor women and child sex trafficking (pekerjaan saya). Saya mengalami sebuah praktek nyata dari hidup saya.
Saya ingat, itu terjadi pada tanggal 24 Juli 2016, setelah saya diundang untuk menjadi pembicara dalam sebuah pertemuan akbar wanita seindonesia di Jakarta. Ada seorang peserta yang bertanya kepada saya: “Apa yang menginspirasimu untuk bekerja di bidang ini? ini tidak mudah, dan tidak gampang dikerjakan oleh seorang perempuan.”
Dalam posisi saya yang masih sebagai pembicara, tiba-tiba semua ingatan tentang pelecehan yang menimpa saya oleh seorang suster selama 3 tahun di asrama itu muncul. Serta bagaimana proses saya mengalami rekonsiliasi dengan bapak saya, dan bagaimana saya menjani nilai-nilai perdamaian ini juga muncul. Keduanya menjadi satu paket yang sempurna. Saya menceritakan tentang itu semua kepada mereka.
Setelah selesai acara, dengan tepuk tangan dari semua peserta, saya lantas pergi ke toilet sebelum saya diantar ke bandara untuk kembali ke Bali. Ketika saya keluar dari toilet, tiba-tiba ada seorang ibu berlutut dihadapan saya. Ia menangis terisak-isak membuat saya tiba-tiba takut. Karena jujur, saya adalah pembicara paling muda, dan dari seluruh isi ruangan saya yang paling junior.
Sontak saya bertanya, “Ibu kenapa? saya minta maaf jika selama 3 hari saya ada di sini, saya melakukan kesalahan. Saya minta maaf dan tolong maafkan saya.” Saya mengucapkan itu dikarenakan si Ibu terus menangis dan tidak mau saya ajak berdiri. Akhirnya kondisi semakin ramai. Saya melihat ada banyak tatapan mata yang seakan-akan marah, bertanya-tanya kearah kami.
Setelah menangis selama sekitar 2 menit, si Ibu itu berdiri dan mulai berkata “Fransischa” kemudian ia diam dan kembali menangis. Tiba-tiba juga dari dalam diri saya muncul sebuah pikiran dan perasaan, karena yang memanggil Fransiska adalah orang-orang dari, maaf Katolik. Di lain kesempatan akan saya ceritakan mengapa nama saya menjadi Gustry Fransischa.
Tiba-tiba dengan cepat memori saya membawa ingatan tentang pelecehan di asrama itu. Si Ibu mulai berkata, “saya suster yang melecehkan kamu.” Pecahlah tangisan ibu itu dengan disaksikan oleh banyak orang. Saya bergegas mengangkat ibu itu untuk membantunya berdiri.
Saya melawan semua rasa trauma yang pernah saya alami ketika remaja. Dengan berpikir positif, saya mulai berkata “wah, Suster, apa kabar? saya lama cari-cari suster,” dan saya peluk ibu itu. Ia menangis dalam pelukan saya. Ia meraung-raung. Hari itu terjadi proses rekonsiliasi dan kesembuhan batin.
“Saya bukan malaikat yang bisa mengampuni dengan begitu mudah. Saya adalah pribadi yang sama dengan manusia pada umumnya. Tapi saya memilih untuk menentukan apa yang menjadi bagian saya dalam masa depan saya.”
Hubungan kami cukup baik setelah pertemuan itu. Saya menjadi sahabat yang sangat baik untuk dia. Ada banyak proses juga yang dia alami. Sampai akhir hidupnya, dia juga mengalami proses penyembuhan yang indah. Ada pengalaman yang saya temukan dalam kehidupan saya.
Itu alasan saya untuk mau berbagi kepada semua orang, di manapun saya ada, apapun kondisi saya. Karena yang saya tau dan sadari adalah “CINTA YANG TELAH SAYA DAPATKAN ITU GRATIS, DAN SAYA HARUS BAGIKAN SECARA GRATIS KEPADA SEMUA ORANG”
Penulis: Uthe (AoP Bali)
Editor: Zulkifli Fajri Ramadan
Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]