Syifanggita: Menemukan Perdamaian dengan Perasaan

Lahir dan dibesarkan di keluarga yang tidak selalu damai membuat aku hidup di dalam bayang-bayang masa lalu dan bertengkar dengan perasaanku di setiap waktu.

Keluargaku yang pada mulanya tidak banyak masalah mulai berantakan sejak kondisi ekonomi keluargaku jatuh dan hancur berantakan.

Bapak dan ibuku sering berseteru, komunikasiku dengan orang tuaku juga menjadi tidak lancar, segala kalimat rasanya selalu memicu perdebatan, dan aku pun kian diabaikan, hingga akhirnya nyaris tidak dipedulikan.

Keadaan itu terus membawaku hidup dalam bayang-bayang awan kelabu. Sampai akhirnya, aku melangkahkan kaki ke Bandung untuk mencoba hidup sendiri dan lepas dari masa laluku, mencoba membuka lembaran baru di tanah yang baru.

Namun pada realitanya, aku masih bertengkar dengan perasaanku, rasa bersalah, rasa gelisah, rasa geram, rasa sedih yang berkepanjangan dan tidak tersampaikan. 

Aku masih hidup di bawah ketakutan dari masa laluku dan segala pengalaman yang membuat aku selalu menjalani hidup yang terasa palsu.

Aku menjadi sosok yang sok kuat, mencoba selalu membantu banyak orang, memperdulikan banyak orang, agar aku tidak diabaikan seperti aku dahulu.

Sejak saat itu, aku berdiri dan hidup di balik topeng, menyimpan rasa kalut dengan perasaan dan kisah kelam masa laluku. Menjadi salah satu dari sedikit perempuan di fakultas yang memiliki ratusan mahasiswa laki-laki membuat aku semakin kuat dan tangguh.

Aku menjadi orang yang selalu berusaha membantu orang lain, memberikan manfaat kepada orang lain, tetapi nyatanya masalah di masa laluku tetap saja kembali.

Masih ada beberapa orang yang mengabaikan aku dan membuat aku kembali bertengkar dengan perasaanku, ketakutanku kembali, rasa sedihku tak terungkap, dan aku ada di dalam bayang-bayang menyedihkan masa laluku.

Aku terus bertengkar sampai akhirnya aku mencapai titik di mana aku sangat merasa sendirian, tak berguna, dan tidak punya masa depan. Aku kehilangan tujuan hidupku.

Beberapa bulan setelahnya, aku menemukan satu orang teman yang membantuku untuk meluapkan emosiku sedikit demi sedikit dan mencoba membantuku untuk menerima perasaanku.

Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk bergabung di Frosh di mana aku tahu aku akan mendapatkan kebaikan di dalamnya.

Benar! Di sana aku ditampar oleh banyak materi yang membuatku semakin sadar. Konten-konten terkait diri sendiri, emosi, dan banyak hal lain yang membuat diriku berkaca, juga ingin bergerak, selalu berubah menjadi lebih baik. 

Aku mulai melakukan refleksi setiap hari, berkaca pada diri sendiri, sambil mencoba terus menerima perasaan dan kondisi masa laluku.

Bertemu dengan mentee-mentee juga membantuku untuk menyembuhkan diriku, membuatku lebih banyak belajar, bersyukur, dan hidup dengan lebih tenang. 

Akhirnya aku paham, aku harus mengubah paradigmaku tentang banyak hal. Aku harus menerima perasaanku dan menjadi diriku sendiri.

Aku berdamai dengan masa laluku, dengan masalah keluargaku, kisah pertemananku, dan segala problematika yang menerjangku dulu. Masa lalu harusnya jadi bahan pembelajaranku, bukan jadi amarah terpendam yang justru menghancurkanku. 

Perasaanku harusnya menjadi salah satu warna di hidupku bukan justru warna suram yang membayangi jalan hidupku.

Sekarang, aku sudah lebih damai dengan diriku dan perasaanku, waktunya untuk mengajak orang lain berdamai dengan dirinya, lingkungannya, hingga mampu mendamaikan banyak hal di dunia!

Oleh: Syifanggita Hattami Kirana, MENTOR FROSH ITB

Editor: Faza

Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]

 

Daftar untuk mendapatkan info & promosi menarik!