Maluku. Salah satu pulau yang indah di Nusantara. Sebelum melakukan perjalanan kesana, kita pasti sering tersirat pernyataan-pernyataan ini:
“Orang sana kulitnya hitam-hitam, terus galak ya sa”
“Mereka serem-serem gitu ya sa”
“Mereka itu pemalas….”
Konflik, Tapol, dan Ambon
Ketika saya menyebut Maluku, saya mendengar sering sekali ungkapan-ungkapan seperti di atas. Namun, sungguh saya menemukan Maluku justru sebaliknya. Saya bertemu dengan keluarga baru yang hingga hari ini masih berkabar dan berbagi cerita.
Awal saya kenal Maluku adalah melalui kisah konfliknya yang kerap disebut-sebut dalam peristiwa 1998, era mundurnya Suharto dari kursi Presiden. Islam dan Kristen menjadi poin utama dalam konflik tersebut. Buku-buku bercerita bagaimana sistem pela gandong budaya masyarakat menjadi pengerat rakyat Maluku.
Namun, saat menghabiskan buku-buku tersebut, tidak pernah terbersit saya mengunjungi Maluku. Keinginan saya kemudian tumbuh dengan niat kuat seusai membaca Pulau Rhun, Pulau yang karena Cengkeh dan Palanya diperebutkan hingga akan ditukar dengan New York. Hingga akhirnya saya menonton film dokumenter Banda The Dark Forgetten Trail yang mengisahkan Banda Neira di masanya.
21 Februari 2019
Allah memberikan kejutan itu, nama saya bersanding dengan tulisan Maluku. Ya saya terpilih untuk penugasan di Maluku. Senang tentu saja, namun ada yang saya cemaskan. Saya mencemaskan cerita-cerita yang saya peroleh sebelumnya.
Cerita bagaimana Kak Jawad yang bertugas di Buano sempat kesulitan untuk beradaptasi pun sama dengan Kak Dessy yang ditempatkan di Luhu, Pulau Seram. Sampai pada akhirnya saya menangis malam itu. Menangis untuk ketakutan dan segala kekhawatiran yang sebenarnya masih dalam bayangan.
22 Februari 2019
Tim Maluku berangkat paling akhir, keberangkatan sore hari dari Bandung dengan transit di Surabaya dan menginap di Makassar untuk berangkat ke Ambon. Begitu tiba di Ambon, kami masih disambut secercah cahaya rembulan purnama pertama.
Cerita ini tentu tidak dapat merangkum setiap detail perjalanan dan petualangan saya selama empat purnama di Maluku. Karena sejatinya kami disambut dan diantar dengan purnama.
Tulisan ini akan mencoba menjawab pengalaman menarik selama di sana, perubahan yang ada pada diri saya, dan pengalaman berbagi tentang 12 Nilai Dasar Perdamaian.
Peace People, jangan sungkan untuk melakukan 7 hal ini jika bertemu dengan seseorang yang mengalami depresi!
Anak Darat Hidup di tepi Pantai
Menjadi anak daratan setelah sekian puluh tahun membuat saya tidak pernah menggunakan transportasi kapal, tidak bisa mengambang meski bisa berenang, tidak bisa mendayung sampan, tidak bisa menangkap ikan dan gurita bersenjatakan parang, rasanya saya serba tidak bisa.
Hidup di pinggir sawah yang menghasilkan beras tentu menjadi berbeda jika harus hidup di bawah pegunungan yang bertanah keras dan merah yang cocok ditanami kasbi, jagung, cengkeh, dan pala.
Melihat pohon cengkeh dan pala menjadi pengalaman pertama, memakan kulit pala yang asam dan memisahkan buah dari fulinya juga menjadi yang pertama. Semua terasa baru dan asing, namun mengasyikkan.
Amaholu menyuguhkan masyarakat yang mayoritas berdarah Buton yang menggembirakan. Meski berasal dari Buton para penghasil aspal, namun jalan utama di Amaholu dan dusun sekitarnya belum aspal masih terbatas tanah dan batu serta ada beberapa meter semen.
Penghasilan utama mereka bukan melaut, melainkan membuat tikar dari daun pondak serta menjual hasil gunung seperti daun ganemo (daun mlinjo), berdagang, serta beberapa keluar dari dusun untuk merantau di Ambon atau tanah jauh lainnya. Jangan remehkan, beberapa anak mereka kuliah di hingga s2 di UGM, UAD, dan universitas lainnya di Jawa tanpa beasiswa.
Membunuh waktu di Amaholu begitu mengasyikkan, mengikuti kegiatan ibu-ibu di Majlis Ta’lim yang tidak hanya mengaji namun juga bermain rebana untuk mengisi acara seperti pernikahan atau kunjungan pejabat di Amaholu.
Terkadang ikut membantu membuat suami, membuat kue tanpa bantuan mixer, membantu merekam saat ada kapal yang harus diturunkan siap melaut atau dinaikkan.
Bermain dengan adik-adik di pantai, melihat penyu secara langsung, menyentuh bintang laut, naik gunung untuk melihat pemandangan Seram Bagian Barat di sisi barat. Sering juga hanya bercengkrama di dagu-dagu (tempat duduk-duduk biasanya di depan rumah, banyak yang menggunakan atap sagu).
Saat purnama ketiga, menjadi kali pertama saya menangkap gurita secara langsung. Bagaiamana caranya? Tunggu air laut surut, kemudian berdoa agar ada gurita di malam itu, selanjutnya cari di sela-sela bongkahan batu karang, saat menemukannya hujamkan segera parang ke gurita tersebut, tetaplah waspada karena gurita sangat cepat berenangnya, banting tubuhnya hingga lemas, kemudian hitung jumlah kakinya.
Jika delapan maka itu adalah gurita, jika hanya tujuh maka itu beracun harus segera dilepaskan. Apakah gurita rasanya enak? Sedap apalagi dengan kuah santan.
Tapi ada makanan lain yang sangat berkesan bagi saya, yaitu Bugalu makanan berbahan dasar dari sagu ini mirip dengan gado-gado. Makanan ini diperkenalkan Mama sebagai makanan khas Sulawesi. Cara memasaknya cukup mudah.
Pertama membuat papeda, kemudian bentuk bulat kecil-kecil dan masukkan pada kuah ikan dingin. Sembari menyiapkan papeda kuah ikan, rebus air hingga mendidih kemudian masukkan suiran ayam dan tulangnya (jangan terlalu tipis tapi juga tidak besar) kemudian masukkan sayuran (kacang panjang yang telah dipotong seukuran jari kelingking, terong yang telah dipotong-potong, kubis yang telah dipotong).
Sembari menunggu mendidih siapkan sambal kacang, berbahan dasar kacang goreng dan chili sesuai selera. Saat sudah mendidih, masukkan papeda dengan kuah ikan serta sambal kacang tersebut, aduk sebentar kemudian matikan kompor dan bugalu siap disajikan. Rasanya, sulit dikatakan tapi membayangkan rasanya membuat saya ingin membuatnya.
Mama memang pandai memasak, sekali waktu saya diajari untuk membuat buras, lain waktu kami membuat kue untuk cemilan, pernah juga membuat toyang (bakso goreng), di waktu lain kami membuat pisang ijo yang lezat.
Yang Jadi Candu dari Maluku
Yang menarik dari Maluku tidak hanya lewat Amaholu dan mereka yang di sana. Namun kesempatan saya berinteraksi dengan pemuda di Ambon juga sangat menyenangkan. Kak Jawad dan Kak Dessy serta Bang Untung, mengantarkan kami mengenal Kak Jo, Bang Acep, Mas Sandhi, Bang Apin, dan Pak Dokter yang nantinya menjadi Keluarga Aster.
Saya sempat empat hari tinggal di Rumah Aster, tentu sejujurnya tidak nyaman, karena di situ laki-laki semuanya dan partner saya menginap di hotel bersama temannya. Namun, justru empat hari itu mengajarkan saya banyak hal dan memberikan moment yang berharga.
Saya menjadi tahu cara membuat kopi ada berapa macam, ada susu yang cocok untuk membuat kopi, ada banyak jenis kopi dan setiap kopi memiliki aroma yang berbeda. Setiap orang rasanya memiliki keahlian masing-masing dalam memasak pun dalam hidup.
4-5 April 2019
Dua hari itu kami mengikuti kegiatan Peace Camp yang diadakan UMM dan salah satu lembaga dari Australia. Melalui kegiatan ini saya berkenalan dengan lebih banyak orang. Bang Arif dari Pulau Buru yang nantinya menjadi petunjuk arah selama perlajanan di Pulau Buru dan juga Bang Andi yang nantinya turut gabung dalam keluarga Aster.
Dorisco, Nuel, yang keduanya pada akhirnya menghabiskan malam terakhir saya di Maluku dengan bermain boardgame. Kak Fira yang sama-sama mencari Bhisma, yang menjadi kakak piara selama di Ambon pada kemudian hari.
Hal yang sangat membuat saya berkesan dan justru menjadi candu adalah perjumpaan. Pada tanggal 4 April, sore hari saya mengantarkan Bowo yang asalnya dari Riau untuk mencari handuk di Pasar Mardika. Sore itu kami juga memiliki tugas untuk membuat video berdurasi semenit atau dua menit untuk ditayangkan di instagram.
Karena saya ditakdirkan berkelompok dengan laki-laki, hanya saya yang perempuan, dan firasat saya mengatakan mereka tidak sedang mengerjakan tugas mengenai membuat video.
Akhirnya, sembari menunggu Bowo memilih handuk dan buah Gandaria saya mewawancarai ibu-ibu penjual buah Gandaria dan penjual ikan mengenai makna perdamaian dan pesan mereka.
Apa yang saya dapatkan? Keramahan, ketulusan, dan cerita yang menyentuh. Setibanya kami di lokasi Peace Camp, kami menambah beberapa narasumber dan di malam inagurasi kami tampilkan.
Zack, fasilitator dari Equals Australia memberikan apresiasi atas video tersebut. “Karena yang menarik, mereka telah memulai perjumpaan, itulah inti dari acara ini” kurang lebih begitulah pesannya.
Hari ini, saya merasakan betul arti kata perjumpaan dan bagaimana kekuatan perjumpaan meruntuhkan dinding prasangka. Di Yogyakarta saya menemui banyak orang yang menganggap “orang timur” lekat dengan pembuat onar.
Tidak dipungkiri memang beberapa peristiwa kerusuhan terjadi melibatkan teman-teman dari Papua maupun sekitarnya. Namun, apakah semua anak dari Timur seperti itu? Rasanya baik dan buruk itu kembali pada diri kita sendiri.
Saya anak Jawa, orangtua saya Jawa, bahkan kedua kakek buyut saya adalah pendalang di masanya. Tapi apakah kemudian saya menjadi anak yang lemah lembut karena berasal dari Yogyakarta?
Rasanya saya justru merusak anggapan itu, saya perempuan dari Yogyakarta yang sedikit tahu tentang budaya Jawa, yang sedikit bisa Bahasa Jawa, yang sedikit paham tentang kisah-kisah Jawa, yang justru memiliki suara keras tidak seperti kebanyakan perempuan Jogja.
Salah? Entah yang jelas itu membuat saya tidak bisa memberikan stigma pada seseorang hanya berdasarkan tempat tinggal orang tersebut.
Inilah yang menjadi candu hingga hari ini, saya menjadi lebih berani memulai pembicaraan dengan orang baru. Berbagi cerita dan menceritakan bagaimana Maluku dalam pengalaman saya untuk memverifikasi apa yang mereka dengar dan apa yang hanya dalam angan mereka.
Mereka tentu terkejut mendengar cerita saya yang berbeda dengan anggapan mereka. Dan saya senang menceritakan Maluku dan membuat kejutan kepada mereka yang saya temui.
Berteman dengan Lintas Iman
Secara keseluruhan kami sedikit mengajarkan nilai 12 dasar perdamaian dari Peace Generation. Sependek ingatan, saya berbagi ilmu ini hanya kepada adik-adik MI dan SD saja. Tapi ada yang lebih membuat saya senang adalah ketika saya mengajak Kak Jo yang beragama Kristen untuk mengajar di Amaholu.
Ini adalah pengalaman pertama mereka berteman dengan orang yang berbeda agama. Tentu dampaknya tidak secara nyata muncul. Awalnya mereka menolak berteman dengan teman berbeda agama, namun saat Kak Jo datang dan pelajaran 12 NDP tentang berteman dengan orang yang berbeda agama, mereka bisa menerimanya.
Hal yang sama juga terjadi saat kami mengadakan kegiatan Peacesantren di Negri Uraur, yang hampir seluruh masyarakat adalah Kristen. Selama pelaksanaan Peacesantren dua hari, kami hanya sedikit mengajarkan 12 Nilai Dasar Perdamaian, saya justru belajar banyak dari interaksi anak-anak muslim dan kristen.
Ini adalah kali pertama mereka bertemu namun pada akhir acara mereka saling bergandengan tangan, memeluk, bahkan menangis. Bukan saya yang mengajarkan namun mereka yang memberi ilmu arti toleransi sesungguhnya. Mereka mempraktikkan dengan menyilakan yang muslim mendapatkan minum terlebih dahulu.
12 Nilai Dasar Perdamaian paling utamanya mengingatkan kepada saya untuk terus meruntuhkan dinding prasangka. Dimanapun dan kapanpun.
Terima kasih Peace Generation dan Muhammadiyah telah memberikan pengalaman yang luar biasa bagi saya untuk berjejaring hingga di Maluku. Rasanya, saya bukan pulang dari Maluku, saya berangkat dari Maluku untuk kembali pada suatu hari nanti.
Penulis: Amsa Nadzifah (Kakak Cerdas dari Yogyakarta, penempatan di Maluku)
Editor: Faza Rahim
Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]
Peace People, untuk mendapatkan informasi terkini seputar Peace Generation, silahkan klik di sini!