Istilah “rumput tetangga lebih hijau” masih berlaku. Selalu ada yang lebih dari milik sendiri daripada orang lain. Terasa sekali, karena dulu saya selalu menilai dari perspektif membandingkan dengan orang lain. Sejak masih kecil bahkan beranjak dewasa. Mulai dari hal kecil seperti teman sepermainan, kondisi fisik, prestasi, keuangan, dan lain-lain. Hal ini membuat saya selalu iri dan kurang bersyukur. Bahkan terkadang terpikir mengapa Tuhan menciptakan perbedaan. Saat perbedaan menjadi akar konflik yang selalu terus ada. Namun, saya terus menelusuri makna perbedaan hingga pada suatu titik di mana perbedaan ada untuk keindahan atau “beauty in diversity”.
Saya Zona Anggraini, berasal dari Kabupaten OKU Timur, Provinsi Sumatera Selatan. Sejak kecil hingga usia 12 tahun saya tinggal di Desa Suka Negara (sekarang Desa Talang Giring). Hingga memasuki sekolah menengah pertama saya merantau bersama saudari saya ke Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir. Tiga tahun saya menempuh sekolah menengah pertama di dua sekolah karena saya terlambat mendaftar. Kemudian, saya melanjutkan sekolah menengah atas di Kota Palembang dengan beasiswa. Ketika sekolah menengah atas saya menemukan minat saya lebih cenderung ke ilmu sosial sampai saya memilih jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Sriwijaya. Dari sekian tempat yang saya lewati saya menemukan keragaman baik dari sosial, budaya dan ekonomi.
Saat mengikuti awal perkuliahan, saya menargetkan selalu ingin jadi yang terbaik. Namun, ketika nilai semester pertama keluar saya berpikir, jika hanya nilai saja tidak cukup perlu aktif organisasi dan berprestasi juga. Apalagi, kakak kelas yang banyak meraih penghargaan seakan membuat saya berpikir saya tidak jadi apa-apa jika tidak ada prestasi. Lalu saya mulai mengikuti lomba debat saat semester dua dan meraih juara harapan I kala itu. Menginjak semester tiga, saya mencoba mengikuti pelatihan kepemimpinan dalam program Intenational Youth Leaader (IYL) Batch 2 tahun 2018. Ada sekitar 30 orang delegasi mahasiswa sebagai perwakilan Indonesia.
Awalnya saya mendaftar IYL jalur fully funded namun tidak lolos. Sehingga, saya mengikuti jalur self funded atau biaya sendiri. Saat program berlangsung kami berkeliling mempelajari berbagai kebudayaan Malaysia. Mulai dari bahasa, bangunan, pendidikan, kepemimpinan dan politik. Kami juga sempat mengunjungi Universiti Kebangsaan Malaysia dan berbincang-bincang sebentar dengan para mahasiswa. Saya juga berbaur dengan teman-teman dari berbagai daerah bercerita tentang keunikan daerah masing-masing. Salah satunya teman sekamar saya dari Kalimantan, kami berdiskusi tentang universitas, pendidikan, masalah lokal, sampai proses kami mengikuti IYL. Dalam kegiatan kali ini saya merasakan manfaat baik karena bisa menjalin networking dengan mahasiswa berbagai daerah dan luar negeri.
Dari beberapa pengalaman di atas, saya menemukan keberagaman dan perbedaan memberikan banyak dampak positif. Terutama untuk saling mengenal dan menghargai perbedaan. Mempelajari bebagai hal tentang toleransi bukan hanya tentang agama dan budaya namun dari aspek yang lebih luas. Selain itu, ada satu kegiatan yang paling berkesan tentang perdamaian di mana kita bisa berdamai meski ada keberagaman. Program itu adalah Boardgame for Peace (BGFP) 2.0 di Palembang.
Saya diajak kakak tingkat untuk ikut kegiatan Boardgame for Peace (BGFP) 2.0 di Palembang. Lalu saya mendaftar dengan mengisi formulir online. Kemudian dinyatakan lolos tahap pertama dan lanjut wawancara. Wawancara dilakukan melalui telepon, beberapa hari kemudian pengumuman keluar dan saya dinyatakan lolos mengikuti program BGFP di Hotel Grand Malaka selama 3 hari.
Hari pertama, peserta melakukan registrasi. Peserta mahasiswa dan siswa dipisah berbeda ruangan. Setelah itu, setiap orang dibagi dalam kelompok. Satu kelompok terdiri dari enam orang dan satu fasilitator. Fasilitator kelompok saya adalah Mbak Endah dan anggota grup ada Yogi, Vanny, Reza, Desi, Kak Ikramsa, dan saya. Kelompok kami merupakan tim yang punya selera humor yang tinggi apalagi Yogi yang selalu pandai membuat kami tertawa. Sepanjang rangkaian acara, kami selalu melempar cerita-cerita lucu.
Hari kedua, kami bermain boardgame. Ada dua macam boardgame yaitu The Rampung dan Galaxy Obscurio. Sesi pertama permainan kami kalah bemain The Rampung. Kemudian sesi kedua kami menang, karena sudah tahu cara memasang strategi. Dari kedua peminan tersebut, saya mempelajarai bahwa kemenangan dalam kebaikan pasti terjadi.
Training ini juga menghadirkan pembicara yang sangat berkesan. Salah satunya Kak Raihan sebagai returnee ISIS. Beliau pernah ke Suriah dan menceritakan awal mula pergi ke sana sampai kembali lagi ke Indonesia. Rangkaian peristiwa yang terjadi selama kurang lebih dua tahun di sana sangat membekas dalam ingatan. Kehilangan ayah dan nenek yang meninggal di sana membuatnya memperoleh pembelajaran hidup. Banyak hal yang dipelajari dari cerita beliau, pesannya jangan mudah termakan iming-iming propaganda dari golongan tertentu sebelum kita memahami betul seluk beluk suatu perkumpulan yang akan diikuti.
Pembicara lainnya, Kak Febby, korban bom bunuh diri. Beliau mengalami luka bakar cukup parah sampai harus menunda resepsi pernikahan. Saat bom bunuh diri terjadi bertepatan ketika H-10 menuju pernikahan. Sehingga pernikahan hanya dilaksanakan ijab kabul saja di rumah sakit. Namun, di balik kejadian itu, beliau bisa menjalin silatuhrahmi dekat dengan saudara kandung pelaku bom bunuh diri. Sungguh perdamaian yang indah! Sesi pertanyaan dibuka, kebanyakan pertanyaan mengarah pada bagaimana beliau memaafkan pelaku. Beliau mengatakan bahwa sempat marah, tetapi menerima dan mengambil hikmah dari apa yang terjadi itu jauh kebih baik. Beliau bisa menjadi pribadi yang dapat memandang makna positif dari suatu musibah. Saya sangat salut dengan beliau, dapat menerima kondisi dan memaafkan pelaku bahkan dapat membangun hubungan keluarga dengan keluarga pelaku.
Hari ketiga, kami ke Kambang Iwak untuk mengajak masyarakat dari berbagai kalangan untuk bermain The Rampung dan Galaxy Obscurio. Kelompok saya berkeliling di sekita dan mendapat satu kelompok anak muda. Mereka bersedia untuk bermain The Rampung. Setelah itu, ada rombongan anak sekolah menengah, semuanya perempuan. Kami pun mengajak mereka bermain boargame. Dari dua kelompok tersebut, mereka dapat menyimpulkan makna perdamaian dari kedua boardgame tersebut.
Dari pelatihan boardgame for peace 2.0 wilayah Palembang. Saya merasakan beberapa perubahan dalam diri. Saya merasa lebih lega dan menerima diri sendiri. Saya menemukan hal itu saat mengisi buku modul tentang 5 hal yang paling dibanggakan dari diri sendiri. Saya menemukan bahwa diri ini terlalu sibuk dengan apa yang tidak saya bisa dan saya tidak punya. Padahal, ada banyak yang saya miliki dan saya kembangkan untuk bisa bersosialisasi, membangun networking, dan memberikan manfaat untuk sekitar. Perasaan dan pikiran diri yang membelenggu dan membatasai potensi untuk berkembang menjadi pribadi yang bisa berbagi dan bermanfaat bagi orang lain. Semoga cerita di atas dapat menjadi pembelajaran bagi para pembaca untuk menjadi pribadi yang kebih baik dan mensyukuri apa yang dimiliki saat ini.
Penulis: Zona Anggarini (Alumni BGFP 2 Palembang)
Editor: Hayati
Kamu AoP punya cerita perubahan? Kirimkan ceritamu ke [email protected]