Konstruksi masyarakat pada umumnya hanya mengenal dua ekspresi gender. Yakni maskulin dan feminim. Kedua identitas itu melekat pada masyarakat bahwa maskulin adalah simbol lelaki dan feminim itu simbol perempuan. Hal itu juga yang menjadi alasan mengapa perundungan dan intoleransi masih berlangsung kepada seseorang yang mencoba mengekspresikan dirinya di luar kedua simbol itu.
Saat perundungan kepada transpuan diberitakan dan sedang heboh-hebohnya, saya tetiba teringat kampung halaman saya di Sulawesi Selatan. Ingatan itu tertuju pada gender yang kami kenal di luar lelaki dan perempuan. Mungkin aneh terdengar, namun hal tersebut benar adanya.
Pada masyarakat Bugis pembagian identitas gender sendiri terbagi menjadi lima, semua diakui dan mempunyai peran masing-masing. Kelimanya adalah Orowane (laki-laki), Makkunrai (perempuan), Calabai, Calalai dan Bissu.
Calabai adalah orang yang dilahirkan dengan kondisi biologis laki-laki tetapi dalam kesehariannya berperilaku seperti perempuan. Sedangkan Calalai adalah orang yang dilahirkan dengan kondisi biologis perempuan tetapi dalam kesehariannya berperilaku seperti laki-laki. Sedangkan gender yang terakhir adalah Bissu. Bissu adalah seseorang yang memperantarai antara langit dengan bumi. Hal itu diekspresikan melalui bentuk tampilan dengan kedua simbol laki-laki dan perempuan.
Professor Halilintar Lathief dalam (Republika.co.id) menyebutkan bahwa posisi keagamaan Bissu dalam Bugis kuno juga sebagai perantara manusia dan Tuhan. Dia menjelaskan bahwa dalam tatanan masyarakat kuno tersebut, dunia atas (langit) dipandang sebagai laki-laki dan dunia bawah menyimbolkan perempuan. Hanya bissu dengan kecenderungan dualitasnya yang mampu menjadi perantara.
Dalam sumber (etnis.id) disebutkan bahwa lima gender di suku Bugis tidak bisa dilihat sebatas gender saja. Identitas Calabai, Calalai dan Bissu tidak ditentukan oleh seksualitas dan faktor biologisnya melainkan posisi dan perannya dalam masyarakat Bugis. Identitas gender mereka dibentuk melalui spiritualitas, sense of self, peran, behaviour, pekerjaan, pakaian, seksualitas, dan subjektivitas.
Lantas, bagaimana dengan nilai perdamaian yang ada di masyarakat Sulawesi Selatan?
Kita sepakat bahwa perbedaan di Indonesia adalah bentuk kekayaan budaya yang dimiliki. Setiap orang berhak untuk menanamkan rasa tenggang rasa kepada sesama. Seperti halnya di Bugis, kami mengenal budaya Siri’ yang menganggap, bahwa setiap manusia harus saling menghargai serta menghormati. Nilai inilah yang menjadi alasan rasional dalam bertindak agar seseorang tidak mengganggu dan melanggar norma dan hak individu lain.
Seperti halnya dalam 12 nilai perdamaian, beberapa di antaranya sejalan dengan nilai yang ada di dalam masyarakat suku Bugis. Menolak kekerasan, perbedaan jenis kelamin, dan keragaman adalah salah tiganya.
Dalam keragaman etnis, prinsip penting dalam perdamaian adalah menghindari kecenderungan berprasangka buruk terhadap suku-suku lain dan berusaha untuk mengenali serta menikmati perbedaan. Di Bugis, hal ini disebut Sipakalebbi; sifat saling memuliakan dan menghargai.
Menyoal perbedaan jenis kelamin, kita semua sama-sama tahu dan mengerti untuk menghormati dan menghargai hak dasar seseorang dengan cara tidak melakukan pelecehan dan diskriminasi. Begitupula dalam kepercayaan suku Bugis. Hal ini dikenal sebagai sifat Sipakatau. Sebuah sifat memanusiakan manusia. Artinya sebagai manusia kita harus saling menghormati dan tidak membeda-bedakan.
Pada akhirnya, semua hal tersebut bermuara sebagai fondasi untuk menolak kekerasan. Lincoln dan AmaLee mengemukakan bahwa konflik menyebabkan menjadi buruknya pelayanan kesehatan dan pendidikan, hancurnya berbagai infrastruktur, serta hambatan ekonomi. Lebih dari itu, konflik menimbulkan menurunnya kepercayaan dan meningkatnya rasa saling curiga. Sedangkan dalam Bugis, kami mengenal Sipakainge yang berarti saling mengingatkan sesama manusia.
Dengan adanya nilai-nilai luhur tersebut, masyarakat di Sulawesi Selatan lebih berempati dan saling menghargai meskipun mengenal lima gender yang berbeda. Hal itu didukung karena adanya nilai nilai toleransi dan nilai perdamaian yang telah ditanamkan sejak kecil.
Satu hal yang pasti, bahwa segala perbedaan adalah hal mutlak. Semua kehendak Tuhan. Menjadi manusia, kita hanya perlu untuk saling menghargai agar tercipta perdamaian dan ketentraman. Maka dari itu, mari kita sebarkan perdamaian!
_
Peace People, untuk mendapatkan informasi terkini seputar Peace Generation, jangan lupa klik di sini ya!
Ditulis oleh: Fathul Khair Tabri (Mahasiswa Universitas Hasanuddin)
Editor: Faza Rahim