Headline: Menuntut ilmu diwajibkan bagi semua insan baik tua maupun muda, dari buaian sampai liang lahat. Menuntut ilmu bisa ditempuh baik melalui pendidikan formal maupun informal. Termasuk melalui jalur pendidikan Islam. Lantas bagaimana untuk menempuh jalur pendidikan Islam khususnya bagi orang muda? Dengan bangga, Peace Academy berkolaborasi dengan Sahabat Malik kembali hadir untuk sharing dalam sebuah online learning yang bertemakan, “Orang Muda di Jalur Pendidikan Islam Part. 2”.
Acara yang diselenggarakan pada tanggal 02 Mei 2020 dan dihadiri oleh para pionir yang sudah lama berkiprah di dunia pendidikan, yaitu Ali Qahar (Pengasuh Pesantren Inggris Assalam) dan Muyassarotul Hafidzoh (Novelis Hilda). Serta dimoderatori oleh Imam Malik Riduan.
Untuk memulai online learning ini, Ali Qahar dengan cerita sejarah berdirinya Pesantren Inggris Assalam. Disebut sebagai Pesantren Inggris karena santrinya diwajibkan berbahasa Inggris. Gagasan awalnya dimulai ketika beliau ikut menjadi relawan pendampingan anak-anak jalanan bersama UNICEF, dan lain-lain. Beliau terus berlanjut melakukan pendampingan anak-anak jalanan dan memberikan akses pendidikan kepada mereka. Hingga akhirnya, muncullah mimpi besar untuk bisa mengumpulkan anak-anak tersebut di satu tempat. Hal ini untuk mempermudah pendampingan dan memberikan pendidikan kepada mereka.
Hingga suatu hari, beliau bersama istrinya bertemu dengan Ibu Susi, seorang aktivis gereja yang mendengar cita-cita kami. Bu Susi akhirnya tergerak dan menawarkan lahannya di Bogor seluas 2 Hektar untuk dimanfaatkan sebagai tempat belajar, yaitu Pesantren As-Salam. Dan yang menamai “pesantren” itu dari orang-orang sekitar. Karena sebetulnya beliau lebih suka menyebutnya sebagai kampus kehidupan. Dimana orang-orang dari berbagai usia berkumpul, belajar, bermain dan sebagainya. Selain itu, karena beliau juga bukan seorang kiyai dan terlalu berat untuk menyebut tempat ini sebagai pesantren. Maka, beliau memutuskan untuk menamainya sebagai Pesantren Inggris.
Pesantren ini terletak di Gunung Geulis, Bogor. Dengan jumlah santri sebanyak 40 anak dan ditambah dengan non-santri atau mereka yang sekedar berkunjung, semacam pertukaran pelajaran di setiap hari Jumat, Sabtu dan Minggu jumlahnya bisa mencapai 100-150 orang.
Pembelajarannya pun diserahkan kepada santri. Mereka belajar apa yang mereka sukai. Kalau suka main musik, belajar musik. Kalau suka ngaji kitab, belajar ngaji kitab. Untuk pembelajaran wajib keagamaan atau ngaji biasanya dilakukan setelah magrib sampai isya. Selebihnya diserahkan kepada masing-masing santri.
Untuk proses rekrutmen, biasanya beliau mencari dan bertemu dengan anaknya atau ada pula yang memberikan rekomendasi kemudian beliau bertemu dan menjemput langsung anak yang direkomendasikan. Saat ini, santri berasal dari berbagai daerah di Indonesia, khususnya wilayah di sekitar pesantren. Pesan yang ingin beliau sampaikan adalah “Jika memang ini dianggap baik dan bisa menjadi contoh, saya sampaikan bahwa tidak sulit untuk mendirikan pesantren. Selama ada kemauan dan tekad yang kuat. Kita bisa mulai dari hal kecil yang bisa kita lakukan.”
Berbeda dengan Ali Qahar, Muyassarotul menyampaikan tentang bagaimana sejarah sehingga terbitnya novel yang berjudul “Hilda”. Novel “Hilda” ini adalah bentuk keresahan dan latar belakang dari temannya di sekolah. Siswi tersebut mengalami kekerasan seksual saat kelas 3 SMA dan sebentar lagi akan lulus. Namun, ia terpaksa harus dikeluarkan dari sekolah. Sementara, pelakunya yang berada di sekolah yang sama tidak dikeluarkan dan tetap dapat melanjutkan pendidikannya.
Dari situlah, Muyassarotul merasa bahwa kita perlu mengkampanyekan anti kekerasan dan anti diskriminasi terhadap perempuan. Tentu tidak mudah menyampaikan nilai-nilai tersebut secara langsung. Perlu media yang tanpa disadari membangun pola pikir bagi pembacanya. Oleh karena itu, ia membuat novel ini.
Novel ini sebetulnya kumpulan dari cerita yang akhirnya dikumpulkan menjadi sebuah novel. Salah satu nilai yang disisipkan seperti di bab awal. Bab awal ini membahas mengenai perbedaan antara zina dan pemerkosaan. Cukup berat memang. Bahkan sempat ditolak editor dan diminta untuk diperhalus. Tapi, menurutnya, justru disitulah letak pentingnya untuk menyamakan persepsi pembaca. Sekaligus menentukan pembaca mana yang sudah siap untuk menikmati dan mengambil pelajaran dari novel tersebut. Salah satu alasan mengapa ia berani untuk menyampaikan isu seperti ini karena ia memiliki prinsip bahwa, “Kalau saya tidak berani, bagaimana perempuan lain akan berani?”
Tantangan lain muncul setelah novel ini terbit. Ternyata, banyak dari pembacanya mengalami hal yang sama seperti tokoh Hilda dalam novel tersebut. Mereka bercerita kepadanya dan bahkan beberapa dari mereka sempat berniat mengakhiri hidupnya. Sejak saat itulah, ia sadar bahwa tugas ia sebagai perempuan untuk menguatkan perempuan lain yang mengalami kekerasan dan membutuhkan bantuan kita. Seperti Hilda.
Salah satu yang ingin disampaikan adalah “Apa yang saya tulis ini semoga bisa membuka mata perempuan lain bahwa kita berhak menyuarakan pendapat, jangan takut dan tetap menginspirasi.”
Dengan diadakannya online learning ini, semoga kita bisa menjadikan apa yang kita alami dan sukai menjadi sesuatu yang bisa menginspirasi dan membawa perubahan yang berarti. Baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Karena ketika kita melakukan pekerjaan atau sesuatu berdasarkan hati, akan sampai kepada hati juga. Percaya bahwa kita bisa merubah dunia jika dimulai dari satu hal kecil yang kita bisa.
Oleh: Tim Peace Academy (Mahendra, Anisa). Editor : Faza