Belajar Mengajar Damai — Racauan Malam yang Tertunda

Berbicara tentang damai selalu membawaku ke ruang-ruang kelas di sudut Jogja ketika label diri masih menjadi mahasiswa. Sebuah kata yang membawaku akhirnya memilih belajar di jurusan yang kuharap dapat membantuku menyebar benih kata tersebut setidaknya di lingkungan terdekatku.

Salah satu momen terkait damai yang selalu kuingat adalah ketika dosen favoritku menginstruksikan ke peserta kelas untuk menerawang bagaimana kami saat berumur 64 tahun dan apa saja hal-hal yang telah kami kontribusikan untuk perdamaian. Tugas yang kutulis dengan kesadaran tertinggi yang seringkali menjadi pecutan saat aku mulai kehilangan arah dalam hidup.

Hari berganti. Aku lulus. Aku membunuh waktu bekerja tanpa henti tapi yang kujalani bukanlah sesuatu yang kutulis pada salah satu hari bersejarah itu. Sampai tiba hari ini.

Baca Juga  Story Of Changes Fasilitator- Gherry (AOP Banten)

Membuka Diri, Memulai Kembali

Aku mengikuti sebuah kamp yang menjadi titik balik perjalananku kembali berdekatan dengan damai. Di sebuah tempat hijau yang ramah alam di tengah kesunyian Dago Pakar. Hari ini aku belajar membuka diri dan memulai kembali mengumpulkan puing-puing mimpi untuk dapat benar-benar terjun menyelam, merangkul, bergerak atas nama perdamaian. Menghidupkan mimpi lama yang sempat terkubur hilang.

Kami disambut dengan hangat melalui sebuah perjamuan kudus. Ritual yang wajib dilakukan saat siapapun menginjakkan kakinya di tempat ini. Upacara yang menasbihkan teh sebagai media menyampaikan pesan tentang sebuah kehangatan, keramahan, dan kebaikan alam untuk kita yang kadang lupa untuk menjaganya.

Air mataku mendesak ingin keluar ketika seorang ibu mulai memberi senyum, menyodorkan teh ke tanganku, dan mengenggamnya sambil seraya menransfer sebuah mantra dalam diam yang kuterka sebagai “Semoga damai selalu bersamamu”. Dalam keheningan itu aku menyadari bahwa rasa sesekali mengalahkan kata dalam menyampaikan makna.

Baca Juga  Serial Podcast: Episode 2 - Mengenal Bentuk-Bentuk Pelecehan terhadap Perempuan

Tepat di lima perdelapan hari, kami diminta untuk menjalankan sebuah peribadatan yang mengajak kami untuk hanyut dalam diam pada enam puluh detik ke depan. Menikmati tiap hembusan nafas yang Tuhan berikan, mensyukuri setiap titipan yang dipercayakan, dan menelisik waktu yang masih disisakan.

Sungguh mengingat ini membuatku semakin terlarut dan menuliskan ini di tengah alunan Sampai Jadi Debu memperkuat karsaku untuk menyendu.

Setelah seremoni-seremoni penuh arti ini kami mulai diperkenalkan untuk mengalami dan berkontemplasi pada empat nilai awal dari 12 Nilai Dasar Perdamaian. Kami diajak belajar memahami diri sendiri, menerima segala kekurangan dan kelebihan yang Tuhan sematkan bersama kami.

Baca Juga  UIN Bandung; Kampus Merdeka, Mahasiswa Berdaya

Kami menghilangkan berbagai praduga yang tak jarang membatasi interaksi kami dengan sesama, dan memahami bahwa perbedaan, keberagamaan, bukan pembatas untuk memanusiakan manusia.

Hari ini aku terjaga bahwa di tengah konflik yang tengah membara, masih ada orang-orang yang sangat peduli untuk bisa menjadi penengah diantaranya — mereka-mereka yang percaya bahwa Eros tetap lebih kuat dari Tanatos dan bersedia untuk menjadi perantara.

Apa yang kualami hari ini menjauhkanku dari keinginan untuk tidur. Aku ingin hidup di momen ini untuk sekejap lebih lama. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menulis dan berbagi atas apa yang kualami pada dunia.

Penulis: Azrina Darmayani

Daftar untuk mendapatkan info & promosi menarik!