Pada 2015-2021 terdapat 34 kasus kekerasan seksual (KS) di perguruan tinggi yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Jumlah ini hanya diambil dari kasus baru yang dilaporkan, tidak termasuk dengan kasus-kasus lain yang belum terkuak ke permukaan. Adanya temuan ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi sebagai ruang aman masih jauh panggang daripada api.
Penetapan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 menjadi angin segar bagi perjuangan melawan KS. Begitu pula bagi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Kini, UPI memiliki Sekolah Advokasi Gender (SAG), sebuah tempat menyempurnakan sistem pencegahan dan penanganan KS. Program ini merupakan bagian dari Satuan Tugas Pencegahan dan Penghapusan Kekerasan (SPPKS) UPI.
SAG memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar bagi pendamping korban KS. Sebab, menurut salah satu mentor program Frosh di UPI bernama Meiliana, menjadi pendamping bukanlah hal mudah.
“Aku juga korban pelecehan, aku juga penyintas. Jadi pada saat aku menjadi advokat (pendamping) aku merasakan banget apa yang mereka (korban) takutkan dan khawatirkan,” ujar Meiliana. Menurut Meiliana, adanya Frosh dan SAG ini membantu melengkapi wawasan pendampingan bagi korban KS.
Implementasi Kurikulum Frosh di Sekolah Advokasi Gender (SAG) UPI
Pendamping SAG memiliki tanggung jawab besar dalam menangani kasus KS, sehingga mereka perlu mendapatkan pendidikan yang tepat untuk mengasah keterampilan dalam menangani sebuah kasus KS. Oleh karena itu, SAG UPI menerbitkan modul bernama “Bersama Menangkal Kekerasan Seksual” atau BMKS.
Modul tersebut dikembangkan dengan metode ARKA (Aktivitas-Refleksi-Konsep-Aplikasi) dari Frosh. ARKA punya dua keunggulan. Pertama, mengedepankan experiential learning, sehingga peserta didik dapat “belajar dengan melakukan” serta dapat terlibat dalam merefleksikan pengalaman yang dialami.
Kedua, menawarkan pembelajaran dengan pendekatan dua arah (interaktif), sehingga pengajaran tidak bersifat menggurui. Pembelajaran interaktif ini disediakan Frosh dalam beberapa video microlearning, contohnya adalah video terkait empati dan critical thinking berikut:
“….dengan kurikulum kolaboratif antara Frosh bersama SPPKS UPI yang berbasis experiential learning, kami berharap dapat meningkatkan minat anak muda untuk mendalami isu kekerasan seksual, salah satu isu krusial di pendidikan Indonesia. Materi yang apik pun dapat disajikan dengan cara yang asyik.”
Selain membantu menyempurnakan metode, Frosh juga membantu menyisipkan dua materi ke dalam modul BMKS yaitu keragaman identitas dan manajemen informasi.
“Waktu itu kita bekerja sama dengan kakak (dari PeaceGen) mengenai kegiatan advokasi gender. Itu dievaluasi dari pengalaman penanganan kasus, kemudian diperbaiki oleh Frosh sampai akhirnya jadi kurikulum di SAG, jadi Frosh sangat berkontribusi bagi perencanaan kurikulum” tambah Meiliana.
Ingin mempelajari lebih lanjut metode ARKA dalam penanganan kekerasan seksual di kampus? Peace People dapat menghubungi kami via email [email protected] atau WhatsApp dengan mengklik tautan bit.ly/bisnispeacegen.
Mari berkolaborasi menciptakan kampus yang tanggap kekerasan seksual!
Penulis: Kevin Izzan Adithya P